1. Sambutan Iseng

511 68 26
                                    

“Ini aneh.” Dan kepala Anu ditoyor sama Irsan.

“Enggak usah lo bilang juga kita semua tau yang tadi itu aneh, Anu.”

Dibanding membalas toyoran teman sekelasnya itu, Anu justru memasang wajah (sok) misteriusnya. Sepertinya beliau sedang berusaha menjadi detektif cerdas yang selalu memakai kacamata dan dasi kupu-kupu warna merah, mana tau doi bisa memecahkan kasus horor di kontrakannya dan mendapatkan nobel lalu ditraktir naskun ikan Haruan langganannya Dimas. Tapi boro-boro mecahin kasus, ujian pilihan ganda aja doi cap cip cup pakai kancing baju.

“Tadi itu ilusi enggak, sih? Seriusan yang tadi itu beneran? Apa fatamorgana aja?” Tutu mulai bergumam enggak jelas, posenya sama seperti Anu namun lebih mirip ibu-ibu ngedumelin harga minyak yang naik.

“Enggak, Bang. Sumpah! Demi bulu keteknya Fadil yang nempel di kaus kutang gue, gue juga liat tuh sempak muncul tiba-tiba!” Trisna buka suara, menyampaikan kesaksiannya sebelum tragedi jendela terjadi. Masa jantung doi yang berjoget berdendang alunan kopi dangdut itu bohongan?

Sedang Fadil melirik setengah sebal ke abang tiangnya itu, dosa apa bulu keteknya sampai diseret-seret seperti ini? Memang bulu keteknya sedang mengalami kemunduran populasi alias rontok dan sialnya bulu itu melalangbuana sampai mendarat di kaus kutang abangnya itu di ember cucian. Kasian, bulu yang tertuduh.

“Jadi kita maunya gimana sekarang? Masa pindah? Baru juga sebulan di sini, kita juga udah tanda tangan kontrak.” sahut Ali, kepala doi masih pening sebenarnya. Karena setelah mereka cengo berjamaah, trio bocil itu berteriak seperti tarzan liar yang baru belajar musik metal. Aduh, pokoknya malam ini Ali musti masang koyo cabe plus minum obat sakit kepala andalannya, Bandrek.

Maaf, saya tidak disponsori oleh brand tertentu.

“Ih jangan langsung bubar bah, gue udah mulai nyaman di sini.” Fadil akhirnya nimbrung. Walaupun doi sempat menjerit seperti cicak keganjet pintu, tapi doi perlahan nyaman di kontrakan Suryadi ini. Sudah fasilitas oke, mana murah juga pula. Ditambah ada yang mau masakin doi sehari-hari, hahh nyaman banar.

Diam-diam Ali memang dianggap babu sama trio dekil. Dasar durhaka.

Ucapan Fadil barusan mendapat anggukan dari yang lain. Pun kalau mau pindahan, mereka mau pindah ke mana? Masjid mana lagi yang harus mereka singgahi? Kolong jembatan mana lagi yang harus mereka riset dan survei?

Ruang tengah itu hening sebentar, hanya ada suara hembusan napas dari Dimas. Doi sempat pingsan pasca tragedi di kamar Trisna dan sekarang tengah memilih untuk tidur setelah bangun sebentar. Sempak keramat itu pun telah dikuburkan dengan baik disertai doa-doa hasil menyontek dari internet. Entah untuk apa tapi mereka memilih aman, takut sempak itu merasa tersinggung atas pemakaman yang tak layak.

“Bentar,” Anu kembali buka celana—maksudnya suara, semuanya menatap bocah ingusan itu serius. “Ngomong-ngomong soal kontrak, kalian ingat pas hari pertama di kontrakan ini?”

Semuanya kembali sibuk dengan ingatan masing-masing, kembali mengingat-ingat hari pertama mereka bertemu.

***

“Sial, lo beneran mau ngontrak di sini juga?”

Irsan, yang saat itu sedang menikmati es wadai hanya mengangguk malas. Melihat Anu, teman sekelasnya sejak kelas sepuluh sekaligus member The Bunguls pastinya akan jadi lebih sering sampai membuatnya gumoh.

Keduanya memang sudah mencari lokasi terbaik (baca:termurah enggak ngotak) untuk ditinggali karena kehidupan di asrama sekolahnya mulai menyebalkan. Terlalu banyak aturan ini itu bahkan sampai ada jam wajib tidur.

Come HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang