6. Jurus Seribu Bayangan

367 53 43
                                    

“Lu yang bener aja, Dim, ada setan miripin bang Tutu?”

“Suwer tekewer-kewer, Tris! Gue liat siluetnya di spion, bjir!”

Trisna kembali menghela napas bingung sedang Dimas masih dengan tangan logo peace-nya. Misi (suci) mengantarkan Tutu ke puskesmas ternyata ada selipan genre horornya, padahal masih pagi.

Lah, itu kan judul chapter kemarennya.

“Dan sekarang lu nyuruh gue ke sini biar ada temen pulang?” tanya Trisna lalu Dimas mengangguk koplo.

“Entar lu di belakang gue bawa motornya, gue takut ada yang numpang lagi. Mana gratis pula, gue kan rugi bensin,” sebalnya. Pokoknya duit itu harga mati. Kalau enggak ada duit, ya mati.

Doi ingat sekali kalau sensasi preman pucet saat menaiki motornya itu nyata, kayak beneran orang. Bahkan lemes-lemesnya juga mirip. Jaket hitam plus kupluk yang menutupi matanya juga Tutu yang asli punya, Dimas yakin  karena itu jaket paling bau apek sejauh doi hidup, heran kok Tutu bisa betah.

Trisna meneguk kopi hitamnya sampai tandas, doi lama-lama bisa jadi langganan di tempat kerja Dimas kalau begini ceritanya.

“Ya udah ayo balik sekarang, gue mau ngerjain laporan sama ngurusin tugas les.” Trisna emang lagi di masa-masa ribet. Tugas, laporan, praktikum, belum lagi urusan plus-plus di luar itu. Maksudnya bikin mini kurikulum untuk kelas tutornya.

Pun sebenarnya deadline laporan itu masih cukup jauh, tapi doi ini Danu Trisna Sanubari yang pinternya di luar nayla plus amat sangat menghargai waktu. Toh kalau ada waktu sisa biasanya doi manfaatkan untuk hal yang berguna. Baca komik 18+ misalnya.

“Bentar gue kembaliin apron dulu.” Dimas melipir masuk ke dapur kedai milik katingnya. Meninggalkan Trisna yang lagi-lagi sibuk sama pikirannya yang ruwet mirip rambut nenek.

‘Kayaknya memang ada yang enggak beres.’

***

“Jadi kalian marahan gara-gara itu?” tanya Tutu ketus, atau lebih tepatnya dengan suara berat dan dingin se-dingin hubungan HTS yang jadi asing lagi.

Walah, malah curhat.

The Trios yang saat ini terduduk dengan paha rapet mirip anak gadis itu mengangguk pelan, dalam hati berharap enggak ada letusan amarah Tutu part 2. Aduh, jangan banget, deh.

“Gue enggak peduli sama celana kalian yang tembus itu, tapi kalau sampai kalian berisik lagi…” Ucapan Tutu mengambang namun seakan menjanjikan kematian yang menyakitkan.

Trio lagi-lagi kompak meneguk ludah lalu mengangguk patuh, bahkan Irsan yang notabene ketua geng abal-abal yang sering memimpin tawuran antar sekolah pun kicep. Mirip siput yang ditaburi garam sekilo, keriput.

“Ngangguk-ngangguk aja lo pada, enggak ada party jedag-jedug di sini! Mana suara kalian yang nelen toa itu? Udah soak, hah?!” Lagi, Tutu ngamuk menaikkan nadanya. Bener-bener nyelekit. Ini kalau tiba-tiba ada gledek, pasti gledeknya yang minta maaf.

“Ma-maaf, Bang.”

“Enggak gitu yang gue denger tadi, jingan!”

“Maaf, Bang.”

“Yang gue denger tadi bisa bikin kepala gue sakit ya, njing!”

“SIAP SALAH, YANG MULIA!”

“Nah, gitu.”

Baru aja Tutu berdiri, doi menangkap presensi Ali yang baru masuk kontrakan dengan muka cengo.

“Waduh, gue enggak tau kalau ada agenda wajib militer di sini,” sahut Ali sambil tertawa kikuk.

Come HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang