“Ada seseorang di kamar gue.”
Bahkan Trisna di dalam kolong ranjangnya mengulang kalimat yang sama, namun tetap, Dimas mematung dengan keringat dingin luar biasa membanjiri tubuhnya.
Pagi ini cuaca agak lebih dingin dari biasa, enggak terik, enggak juga hujan, terasa lembab. Biasanya Dimas suka cuaca yang begini karena pasti bikin doi ngorok sampai alarmnya berdering di setiap lima menit. Tapi sekarang, demi sempak trio yang diangetin di atas mejikom, Dimas mendadak tak suka, dan jujur mau pingsan.
“Gimana, Dim? Ada apa di bawah ranjang gue?”
Suara Trisna yang satu lagi, yang tengah berdiri di ambang pintu bikin jantung Dimas makin kejer. Badannya kaku total, buat mangap aja rasanya enggak bisa!
Lagian doi harus jawab apa pulak? “Iya, nih, ada elu lagi di sini, kalian embrio yang membelah diri ya?” atau “Wah iya ada elu lagi di sini, lagi belajar jurus Naruto buat jadi raja bajak laut ya?” Masa begitu?
“I-I-iya, ada se-se-sesuatu.” Udah gagap, ditambah suara Dimas gemeter dan menukik cempreng, mirip cicak kegencet jendela. Tapi doi masih belum berani buat nengok. Takut banget kalau sampai dapet supriseee madafakaaaa!
“Tunggu, lu ngomong sama siapa, Dim?” tanya Trisna dari bawah kolong ranjang.
Mampus, Dimas diserang dua arah.
Kali ini doi agak lama diemnya. Selain karena takut, doi juga diam-diam bertasbih. Dari tadi tangannya sibuk mengabsen buku-buku jarinya, cepet banget, curiga Dimas bertasbih tapi sambil nge-rapp ala bapak-bapak subuhan.
“Dim, jangan dengerin dia. Gue yang asli.” Lagi, suara Trisna di ambang pintu kamar membuyarkan fokus Dimas.
Apalagi ini? Dimas disuruh nebak mana Trisna ori sama Trisna kw? Doi aja sering ketuker mana sempak obralnya sama punya Tutu.
“Itu suara siapa, Dim? Kenapa mirip suara gue?” Belum sempat jantung Dimas anteng sedikit, Trisna versi kolong menyahut.
Badan Dimas auto lemes, doi mau teriak sekencang-kencangnya sekarang. “MANA GUE TAU! GUE KAN TRENGGILING!” Lalu bergulung-gulung ke sembarang arah.
“Lu minggir dulu, Dim, biar gue cek.” Trisna versi di ambang pintu itu perlahan mendekat, bikin Dimas makin panik metal enggak karuan.
Aneh, ini aneh. Suara Trisna yang ini mendadak lebih terdengar berat dari biasanya, dan yang bikin Dimas heran adalah, kenapa manusia genter ini mendadak jadi pemberani? Ke mana Trisna penakut yang minta temenin tadi?
“Dim, lari.”
Suara gemetar Trisna dari kolong ranjang itu mencuri perhatian lawan bicaranya. Namun yang lebih mengejutkan adalah ucapan selanjutnya.
Karena sekarang doi bisa lihat dengan jelas kepada siapa kawannya berbicara tadi. Trisna tak melihat seluruh tubuhnya, hanya kaki pucat yang dihiasi banyak luka dan dibalur darah kental dari atas.
“Dia bukan manusia.”
Tepat rampungnya ucapan Trisna dari bawah kolong itu, di saat yang sama Trisna yang lain sampai dan berjongkok di samping tubuh kaku Dimas.
“Oh, sudah tau, ya?”
Dimas menoleh dalam gerakan slowmo, dan bener aja, doi dapet suprisee madafakaaa yang doi benci.
Wajah Trisna yang tadi doi lihat sudah hilang, hanya rupa yang hancur. Mulut yang sobek, mata hitam legam dengan cairan hitam kental yang menetes, hidung dan telinga yang terpotong, dan leher terseyat membuat kepalanya nyaris putus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Come Home
HorrorKontrakan SURYADI dibuka. Bangunan yang sempat kosong 7 tahun itu kali ini comeback sebagai kontrakan dengan harga yang murah meriah. Dengan aturan kontrak wajib huni satu tahun, tujuh calon penghuni menyetujui syarat itu. Namun, teror bermunculan...