8. Trio dan Misi Suci

474 55 43
                                    

“Bentar! Kalian enggak mau sarapan dulu?” tegur Ali yang masih setia dengan apron pink plus renda di tepinya, mengangkat spatula kayu bapuk ke arah duo jelmaan jin ifrit yang baru turun dari lantai dua.

Siapa lagi kalau bukan Irsan dan per-Anua-annya.

“Enggak dulu, Bang! Gue belum ngerjain PR!” teriak Anu sambil menarik kerah belakang Irsan dengan bar-bar.

“Babik! Gue kecekek, Anu belek!” jerit Irsan yang nampaknya suaranya udah di ujung tanduk.

Memangnya Irsan punya tanduk?

Oh, ada dong. Cuma enggak nampak, kan doi jelmaan setan.

Hayo, kalian mikir tanduk yang mana? [Tersenyum mesum seperti Anu]

“Kagak, kagak! Pokoknya kalian harus sarapan! Ini gue bawain bekel.” Masih keukeuh soal sarapan, tangan Ali dengan lihai (atau aura keibuan) mulai memasukkan mie goreng, telor ceplok, plus nasi secara brutal ke tempat bulat berwarna hijau.

Bener-bener brutal. Apa itu bento cangtip nan estetik seperti di anime dan drama-drama kebanyakan? Rasa nomor satu, penampilan kada urus. Toh, bakal jadi tai jua kalok?

Bahkan Fadil yang tengah sarapan di sana bersaksi bahwa nasi itu Ali ambil enggak pakai centong melainkan langsung mengeruk dari tempat nasi dengan tangan sucinya dan langsung mengepalkan nasi-nasi itu sebelum diteken paksa ke dalam wadah. Fadil diem aja, walaupun doi tau kalau tangan sepuh itu abis dipakai ngupil dan menggaruk pantat.

“Aduh, Bang, nanti enggak sempet—”

“Ini, lu bawa! Pokoknya kalian harus sarapan!” titah Ali dengan pose berkacak pinggang.

Dua wadah bulat berwarna hijau itu tersaji dan keduanya mau enggak mau mengambil secara liar sebelum ngibrit keluar kontrakan.

“Kita pergi dulu, assalamualaikum!”

Waalaikumsalam.”

Dimas melirik ke arah Fadil yang sibuk mengunyah tanpa beban. Yeah, seenggaknya sarapan doi enggak kecampur cairan beracun dari upil dan daki hitam legam si koki anti-higienis.

“Lu enggak buru-buru, Dil?”

Bocil kematian itu menggeleng pelan. “Ini mau berangkat, Bang. Santai, PR Fadil udah kelar kok.” Lalu bangkit menaruh piring kotor ke wastafel sebelum berpamitan pergi ke abang-abangnya. Dalam hati bernapas lega karena PR Sejarahnya udah rampung duluan.

“Loh, bang Tutu belum keluar kamar?” tanya Trisna yang baru kelar mandi, mengabsen para penghuni yang sama-sama angker kayak kontrakannya.

“Kayaknya abis banyak kerjaan kemaren. Tadi malem ngeluh badannya sakit, udah gue kerokin, sih.” Ali ingat sekali waktu doi jadi tukang urut dadakan. Doi malah sibuk sumpah serapah karena demi kolor Doraemon-nya Fadil, daki Tutu yang menebal dan mengendap, belum lagi warnanya kedep item, membuatnya merinding diskotik sebadan.

Badan boleh bening tapi daki mirip ampas kopi!’ batinnya kesal.

Dih, kagak ngaca lu, Li.

“Gue bangunin, deh, takut kesiangan itu makhluk kutub.” Dimas berdiri demi melancarkan niat (darah) sucinya.

“Tapi aneh.”

Trisna menarik bangku makannya, mendelik heran ke sesepuh itu. “Aneh apaan, Bang?”

Ali mematikan kompor, membawa piring berisi telor ceplok untuk dua magadir plus Tutu dan dirinya sarapan.
“Waktu gue ngerokin Tutu, di punggungnya ada kayak memar gitu. Pas gue teken, itu orang enggak bilang sakit sama sekali. Apa Tutu punya ilmu rawa rontek?”

Come HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang