“Katanya Fadil, di kontrakan ada penampakan terus bang Ali sama bang Tutu pingsan,” jelas Trisna merangkum cerita Fadil yang setengah menangis itu pada Dimas yang lagi nyeruput grebek langganannya. “Terus mereka lagi terjebak di kamarnya bang Tutu,” sambung Trisna.
“Gu-gue mau aja, sih, balik sekarang, cuma kalau itu setan masih di situ gimana?” bimbang Dimas.
Urusan doi dan Trisna di kampus emang udah kelar, lebih tepatnya urusan dengan junior-juniornya yang rada bandel.
Sekarang mereka lagi mampir di tempat es kopi langganannya Dimas karena emang lagi haus, dan berniat segera pulang ke kontrakan. Enggak ada yang menyangka bakal dapat kabar serem dari si bontot.
“Tapi gue kasian sama bang Ali, bang Tutu. Kalau duo itu dikerjai sama trio bisa ngamuk trus berubah jadi joker gimana?” sambung Dimas.
Andai kamu tau kenyataannya, Dim.“Ya udah yuk balik. Enggak apa-apa, ini masih siang, beda cerita kalau malam. Lagian itu setan ngebet banget muncul pas terang gini, caper apa gimana, dah?” Trisna menegak kopi hitamnya tandas lalu beranjak pergi diikuti Dimas.
Setelah menempuh dua puluh menitan, di mana harus menerjang terik Kalimantan yang bikin mereka bisa mateng secara well-done di atas motor, akhirnya mereka sampai di depan kontrakan plus menemukan ibu kontrakan yang berdiri di depan pagar.
“Loh, Bu? Kok enggak masuk?” tanya Dimas sembari membuka pagar yang terkunci.
“Oh ini, tadi saya mau masuk, tapi dari tadi saya salam enggak ada yang nyahut, jadi mikirnya kalau enggak ada orang,” balas ibu itu.
“Maaf ya, Bu, kayaknya anak-anak pada enggak denger. Saya kabari yang di dalam dulu—”
“Eh enggak usah, Nak. Saya tadi cuma mau mampir aja sambil ngobrol-ngobrol bentar, tapi waktu saya enggak banyak jadi saya harus pulang,” potong ibu cepat, padahal pagar udah dibuka sama Dimas.
“Yah, maaf ya, Bu. Nanti saya salamin sama yang lain, hati-hati di jalan, Bu,” pamit Trisna dan ibu kontrakan melenggang pergi.
“Lu enggak sekalian nyeritain soal yang Fadil bilang?” senggol Dimas.
“Nanti aja, deh, lagian si ibu enggak ada waktu juga. Lah, ini burung siapa?” Trisna me-notice seekor burung beo menggantung di teras.
“Halo! Selamat Siang!” seru burung itu, menyambut duo mahasiswa madesu, masa depan suram.
Padahal aslinya burung itu mulai berkicau saat kedua remaja jempo itu tiba di depan gerbang. Emang rada budekan aja anaknya.
“Perasaan tadi Fadil enggak cerita soal burung—”
Ucapan Trisna terpotong karena di detik yang sama, dari dalam kontrakan, lebih tepatnya kamar Tutu, terdengar teriakan membahana dari trio.
Membuat duo remaja jompo itu membuka pintu depan dengan bar-bar.
Saat sampai di depan pintu kamar sepuh albino itu, mendadak mandek karena di kunci dari dalam.“Ada apa?! Woi, kalian di dalam enggak apa-apa, kan?!” seru Dimas panik, padahal doi juga sama-sama panik.
“Bang Dimas?” Suara Anu terdengar gemetaran dari dalam kamar.
“Kalian kenapa? Buka pintunya!” Trisna mencoba kembali membuka pintu kamar meski hasilnya nihil.
Hening, enggak ada sahutan dari dalam, bikin duo Trisna Dimas makin panik enggak karuan. Takut trio itu kenapa-kenapa, karena mereka enggak punya BPJS, mau bayar pakai apa nanti kalau masuk RS? Daun kelor?
Jeglek!
Pintu kamar itu terbuka dan Fadil langsung menyambar peluk tubuh bau matahari duo mahasiswa, sampai tubuhnya lemes lunglai ke lantai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Come Home
TerrorKontrakan SURYADI dibuka. Bangunan yang sempat kosong 7 tahun itu kali ini comeback sebagai kontrakan dengan harga yang murah meriah. Dengan aturan kontrak wajib huni satu tahun, tujuh calon penghuni menyetujui syarat itu. Namun, teror bermunculan...