4. Padahal Masih Terang

378 65 32
                                    

“Loh, Tu? Lo tumbenan banget bangun pagi pas libur. Kena angin muson apa lu?”

Tutu hanya melirik Ali dari ujung matanya sebelum kembali menatap kosong cangkir hadiah kondangan yang isinya telah tandas.

“Lu begadang lagi semalem apa gimana? Itu kantung mata lu sampai punya kantung mata,” tunjuk Ali pada lingkar mata panda yang tidak manusiawi itu.

Kantung mata Tutu memang menghitam legam, lebih mirip doi yang abis dihantam pakai bambu gila satu komplek.

Tutu menggeleng lemas. “Eng-enggak, gue lagi banyak pikiran aja, Bang. Hari ini lo ada ke resto lagi?” tanyanya, agak heran dengan abang satu itu. Ini masih jam setengah lima pagi di hari Minggu tapi sudah nampak segar dengan pakaian rapi.

“Iya ini gue disuruh buat restock bahan makanan. Bentar doang, paling jam sepuluhan gue balik.” Ali nampak meneguk segelas air putih sebelum menepuk bahu loyo Tutu.

“Gue berangkat dulu, Tu. Titip anak-anak, kalau mereka nakal, sembur aja pakai tajin.” Lalu Ali melenggang pergi. Tutu enggak merespons apa-apa, doi terlalu lemas dan ngantuk.

Doi memijit pepipisnya pusing. Sama seperti Fadil yang sempat GEGANA alias Gelisah, Galau, dan Merana, Tutu juga merasakan kegelisahan yang teramat. Bekas merah yang nampak jelas dari tragedi mati lampu tiga hari yang lalu masih menghantuinya.

Tentu aja Tutu awalnya enggan menganggap itu serius (atau lebih tepatnya berusaha sok cool dan pemberani), tapi alih-alih doi merasa itu hanya angin lalu, nyatanya hal-hal aneh malah semakin ramai mengganggunya.

Mari kita kilas balik sejenak ke h+1 setelah kejadian grasak-grusuk di gudang di tengah kegelapan.

Paginya, Tutu yang berusaha tetap santuy dan berangkat kerja seperti biasa. Tidak ada yang aneh pada awalnya kecuali trio yang kelihatan lebih teratur, biasanya akan selalu ada keributan semi perang dunia di lantai dua perkara prahara rebutan kamar mandi yang diprakarsai oleh Irsan.

Di tempat kerja pun Tutu tetap seperti biasa, menghadapi customer ngamuk-ngamuk, temen kerja caper, dan bos banyak mau tapi cuan dikit.

Benar-benar seperti daily pada umunya.
Seenggaknya sampai doi balik ke kontrakan lagi. Tutu ingat sekali kalau doi yang pulang paling cepat, meski harusnya trio bunguls itu yang lebih dulu, tapi doi enggak mau ambil pusing.

‘Tuh tiga bocah main PS mulu, bjir,' batin Tutu suudzon.

Kontrakan nampak lenggang dari biasa. Doi mandi lalu melipir ke dapur untuk menyeduh pop mie gledek karena di luar udah kelihatan mendung kedep item yang mengerikan.

Tv menyala dan doi menyantap makanannya tanpa beban sampai trio tau-tau masuk tanpa salam.

“Masuk pakai salam, njir! Ada adab kalian begitu?” singgung Tutu. Namun Anu dan Irsan langsung ngibrit ke kamar mereka, meninggalkan Fadil yang sempat terdiam menatap kosong Tutu dengan pop mie nya.

“Ape lu liat-liat? Lu kalau mau, nyeduh sendiri noh! Jangan manja,” ketus Tutu emosi setara wanita datang bulan, kebetulan hari itu doi emang gondok banget sama urusan kerjaan.

Bukannya membalas ucapan abangnya, Fadil malah melangkah mendekat, masih dengan tatapan kosongnya.
Tutu melirik sebentar ke arah Fadil sebelum kembali ke acara TV kesukaannya, bedah rumah.

“Lo apaan, sih, liat-liat gue mulu, Dil? Risih tauk gue.” Tutu mengibas-ibaskan tangannya, mengusir Fadil. Si bungsu satu itu memang nomor satu kalau soal gangguin abang-abangnya, dilihatin sambil bengong bego kayak gini mah udah makan sehari-hari mereka.

“Kenapa…”

“Hah?” Tutu agak budek, salah sendiri naikin volume tv sampai 90 ditambah di luar hujan lagi ribut-ributnya.

Come HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang