9. The Next Ketempelan

347 48 60
                                    

“Kata kak Yon, nanti Bunda mau ngasih kejutan buat ulang tahun ku!”

“Memangnya Nada mau dikasih kado apa?”

“Emm, apa ya? Maunya cat lukis.”

“Kenapa enggak minta PS baru aja?”

“Mending minta alat mancing baru tau, Nad.”

“Mancing mulu, habis entar itu ikan di danau belakang.”

“Cat lukis itu udah yang paling bener. Nada, kan, suka melukis.”

“Tapi jangan lupa minta alat tulis ya, Nad, buat sekolah nanti.”

Pembicaraan itu berlajut dengan hangat, beberapa kali diselingi tawa dan juga aksi melempar candaan.

“Anjing, ini gue lagi di mana, buset?”

Sedang di sudut lain, Ali menyaksikan semuanya. Ruang makan yang biasa doi dan para adik jelmaan jin ifrit itu sarapan dan makan malam kini dihuni oleh anak-anak kisaran dari bocil sekolah dasar sampai seumuran duo maut Anu Irsan.

Kepo? Bukan kepalang. Maksudnya adalah doi baru aja menuju gudang, mengangkat ambal merah, dan mendadak semua pusing lalu hitam legam menyapa, lebih gelap dari kopi pahit kesukaan Trisna.

“Gambar itu…” Tentunya doi masih ingat dengan logo (bir) bintang sesat yang menyapa dengan ramah dari balik ambal.

Ali dengan segala kekuatan yang ada, sangat amat mencoba untuk ber-positif thinking.

Dari kemungkinan seperti ada tikus random yang terluka akibat jebakan betmen lalu berjalan tertatih-tatih dan tada! Jadilah pola bintang sempurna dengan garis merah darah yang telah mengering.

Atau seseorang yang iseng menggunakan crayon merah bata dan secara iseng(lagi) membuat logo lingkaran setan, lalu dengan iseng(lagi) menutupnya dengan ambal merah supaya keisengannya itu enggak ketahuan.

Pokoknya gitu, akal Ali maksa(banget).

Tapi tetap, kalau ditanya gimana perasaan sepuh itu, pasti bakal dijawab, “TAKUT BANGET, NJING! KAYAKNYA GUE MATI SEKARANG, DEH! AAAAAAAAAA! HOMINA! HOMINA! HOMINAAA!”

Kedua tangan transparannya itu menjambak rambutnya kasar, doi mulai frustasi. Iya benar, tangan dan se-badan-badannya yang bau jigong itu jadi tembus pandang alias transparan. Lebih transparan dari data-data, hukum, dan hasil kerja sebuah lembaga dewan di suatu negeri entah di mana.

Inisialnya Zimbegia.

Penulis mencari aman.

Ali aslinya mau pasrah dan berserah diri kepada Yang Maha Kuasa, menerima takdir kalau doi mati konyol gara-gara mengangkat ambal merah di gudang angker kontrakannya.

Habis mau bagaimana lagi? Doi sedang terjebak di situasi yang sangat anjir dan buset ditambah badan bau minyak urutnya itu jadi mirip casper si hantu baik hati. Kalau bukan ciri-ciri di ambang akhir hayat, lalu apa lagi?

“Ini gue beneran mati? Duh, please jangan dulu, dong. Gaji belum turun bulan ini, paylater belum lunas, cicilan skincare baru jalan sebulan, mana Tutu sama Dimas belum gue tagihin utangnya, ENGGAK RELA GUE!” Tubuh tembus pandang Ali meringsut berlutut, doi mendadak kena anemia akut alias lemes brutal.

“Oh iya, Mama sama Papa belum pulang ya?” Sebuah suara bocah laki-laki di sana memudarkan sedikit depresi Ali soal duitnya yang dipakai Tutu buat jajan es kopi boba.

“Iya, Mama sama Papa pulangnya agak malam dari pertemuan,” balas salah satu remaja laki-laki yang nampaknya seumuran dengan duo (serigala) maut a.k.a Anu Irsan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 10 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Come HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang