3. Kata Abinya Fadil...

427 62 27
                                    

“Babi.”

Plaak!

“Mulut lo tuh babi, diem dulu bisa enggak?”

Tutu mengusap pipi bekas ditabok Ali. Doi pengen ngamuk aslinya, cuma doi mendadak menciut kalau sama sepuh nomor satu itu. Kayaknya takut durhaka dan berakhir menjadi ikan pari kering. Beda cerita kalau yang nabok lebih muda dari doi, bisa dituker tuh kepala lawan sama tutup botol bensin eceran.

“Makanya Bang Tutu lebih baik kita sholawatan sekarang.” tegur Fadil yang masih tremor sedang Tutu membalasnya sinis walau bontot itu enggak bisa melihatnya.

“Nanti kalau setannya malah kepanasan trus nge-grebek ke sini gimana, Dil?” kepo Irsan, memang anaknya jauh (sekali) dari positive thinking.

“Halah, kayak sholawat lu bener aja. Rukun iman sama rukun islam aja lu masih ketuker. Mending lu gue tumbalin aja, dengan berat hati.” Anu menowel bahu temannya.

“Itu mah bukan dengan berat hati, namanya lu ikhlas, bungul*.” Trisna nimbrung, doi lagi sibuk menepuk nyamuk yang berdenging di telinganya.

“Bentar. Ini kenapa kalian pada ngungsi ke kamar gue, anjir?!” kesal Dimas, akhirnya doi kebagian dialog juga.

Mereka saling tatap dalam kegelapan, karena sedang ada pemadaman listrik yang entah sampai jam berapa.

Suara langkah kaki bar-bar yang barusan mereka dengar membuat semuanya histeris mirip perawan ketimpa kecoa terbang lalu reflek masuk ke kamar Dimas yang notabene kamar terdekat dengan gradak-gruduk dan kebrutalan yang alami nan murni. Bahkan Fadil mengaku sempet kegencet di kusen pintu, entah siapa pelakunya.

Sedihnya lagi, mayoritas mereka pada enggak bawa ponsel dan pada tewas, Fadil dan Anu malah masih membawa kol dan wortel dari dapur. Sedang ponsel milik Dimas, si pemilik  kamar malah low-bat.

Beginilah kondisi mereka, dalam kondisi gelap dan parnoan ditambah cacing-cacing di perut yang mulai demo. Karena mereka enggak jadi masak sayur sop, toh?

Di tengah hening yang berisik sama suara nyamuk, Fadil mulai bergerak resah seperti orang saat cemas alias celana masuk silit.

Doi meraba di sekitar kanannya.
“Anying! Ini siapa yang megang-megang perut gue?! Orang apa bukan lu?” Irsan berteriak histeris sekaligus menabok tangan Fadil, doi takut digerayangi setan.

“Ini tangan gue, bego!” kesal si empunya tangan.

“Lu ngapain pegang-pegang gue? Enggak usah aneh-aneh lu, wibu!” Emang Irsan ini enggak pernah berkaca.

Fadil mengatur napasnya, doi memang berniat untuk bercerita soal tragedi suara di kamar tadi malam. Mungkin aja suara langkah kaki barusan ada hubungannya sama suara lirih hitungan kampret itu.

“Gu-gue mau cerita sesuatu.” bisik Fadil yang sebenarnya enggak guna-guna amat.

“Mau cerita apa lu? Kalau cuma curhat soal gacha lu yang ampas itu, gue emoh.” sebal Ali. Doi juga gamers cuma enggak sefanatik trio bokem. Tiap hari mendengar keluhan soal gacha bontot yang bau sampah, rasanya doi mau gumoh.

Fadil mengatur napasnya sebentar. Doi sadar ini bukan waktu yang tepat tapi bodo amat! Doi enggak mau takut sendirian. “Jadi gini, sebenernya tadi malam …”

Akhirnya bokem itu menceritakan hal yang bikin doi merinding seharian, mandi aja doi cuma ngabisin dua gayung sama sikat gigi, itu pun doi kumur di lantai satu. Tak ada bagian yang tertinggal, bahkan Fadil juga menceritakan tentang betapa pentingnya pipis sebelum tidur supaya enggak ngompol, agak enggak penting memang.

Come HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang