4

63 12 0
                                    

Nyonya Lieza menjelaskan pula, bahwa sebelum ia masuk ke kamar, Ekey sudah mengeluh kepada kakaknya. Ditto menceritakan bahwa adiknya yang ikut mewarnai gambar itu tiba-tiba berkata dengan mengerjap-ngerjapkan mata.

"Kak... lampunya kok elap?"

"Lampu terang begini dibilangnya gelap!" gerutu kakaknya tak begitu memperhatikan.

"Mata Ekey kok elap, Kak?"

"Kamu ngantuk tuh. Bobo aja sana!"

"Ekey mau bobo cini, ya?"

"Heh, bobo jangan di sini. Nanti dimarahin Mama lho. Sana bobo di kasur!"

"Ekey lemas, Kak. Pucing sekali-kepala Ekey...."

"Bandel nih anak!" Ditto menyentak, tapi Ekey tetap terkulai miring sambil masih memegangi crayon warna.

Ditto tidak peduli lagi, membiarkan adiknya diam terkulai lemas, sementara dia sendiri sibuk melanjutkan lukisannya. Beberapa saat kemudian, mamanya masuk ke kamar tersebut. Sang mama mencoba membangunkan Ekey agar pindah ke ranjang, tapi bocah itu tidak mau bangun. Dengan kesal mamanya mengangkat Ekey untuk dipindahkan ke ranjang.

Namun alangkah terkejutnya sang mama melihat Ekey berwajah pucat dan bibirnya membiru. Semakin gugup perempuan itu setelah merasalah sekujur tubuh Ekey dingin seperti es, napasnya tak ada, denyut nadinya hilang. Berkali-kali ia mengguncang-guncang Ekey, tapi anak itu tak mau bangun.

"Saya langsung larikan anak itu ke rumah sakit terdekat," sambung Nyonya Lieza kepada Kumala. "Tapi... dokter bilang, anak saya sudah tak ada. Dokter bilang, Ekey sudah meninggal. Saya tidak percaya! Saya desak dokter memeriksanya ulang, tapi hasilnya tetap sama. Ekey meninggal. Maka... saya segera lari kemari. Saya mendapat alamat rumah ini dari Johan, tetangga saya...."

"Johan...?" gumam Sandhi, lalu ia ingat tentang insinyur tampan yang pernah terlibat kasus misteri dan diselamatkan.

"Saya... saya berharap, sebagai anak dewa kamu bisa kembalikan Ekey dalam kehidupan kami, Kumala. Saya berharap sekali, kamu bisa hidupkan kembali anakku itu. Aku sangat sayang padanya. Aku tak rela dia menjadi korban wabah atau penyakit misterius yang datangnya tak diduga-duga."

Buron yang sejak tadi memperhatikan Ekey, menemukan kejanggalan yang mencurigakan. Dengan kesaktian mata jin yang dimilikinya, Buron melihat ada lubang kecil di tengah kening mayat Ekey. Lubang itu tak bisa dilihat oleh mata manusia biasa. Bahkan mata paranormal pun bisa terkecoh oleh lubang kecil yang mirip dengan pori-pori kulit itu.

"Kumala, aku melihat ada lubang di kening bocah itu," bisiknya antara terdengar dan tidak di telinga Sandhi, Nyonya Lieza dan Mak Bariah.

"Ya, aku sudah melihatnya sejak tadi," jawab Kumala dengan kalem. "Justru itu yang ingin kutanyakan kepada mamanya."

"Maksudnya...?" Nyonya Lieza mulai bersemangat penuh harap.
"Maksudnya kau ingin bertanya tentang apa, Kumala?"

"Apakah waktu dibawa ke rumah sakit, anak ini disuntik oleh dokter yang memeriksanya?"

"Tidak. Saya tahu persis, dia tidak disuntik. Tidak diobati apa pun, kecuali diperiksa dengan statiskup."

"Apakah ada hewan berbahaya yang menyengat keningnya?"

"Rasa-rasanya.... Ekey tidak pernah bermain hewan, dan rumah kami bersih dari hewan penyengat. Memangnya ada apa, Kumala?"

"Sebelum Ekey tewas, ada sesuatu yang menghirup habis seluruh darahnya melalui tengah kening. Lubang kecil di tengah keningnya itu adalah saluran tempat menghisap habis darah Ekey, hingga anak itu meninggal secara pelan-pelan."

"Oohh...! Be... benarkah ada yang menghisap darah anakku? Siapa?! Siapa yang menghisapnya, Kumala?!"

"Itu yang perlu kita selidiki." Semua diam, terbungkam dengan bulu kuduk merinding. Setiap hati bertanya-tanya, siapa yang menghisap habis darah anak itu?

****

2 KASIHAN sekali. Bocah tanpa dosa menjadi korban kejahatan mistik. Entah dari mana datangnya kekuatan mistik itu, yang jelas Dewi Ular sangat terharu dan iba kepada nasib Ekey. Mengingat kesucian bocah itu yang belum mengenal kebiadaban makhluk di alam jagat raya ini, Dewi Ular pun segera lakukan kebijaksanaan yang terlebih dulu melalui pertimbangan ayah dan ibunya, Dewa Permana dan Dewi Nagadini.

Komunikasi batin dilakukan pada malam itu juga. Tanpa menggunakan handphone maupun satelit, Dewi Ular langsung berseru kepada ayahandanya.

"Ayah, di depanku ada bocah tanpa dosa menjadi korban kebiadaban makhluk yang belum kukenal!"

Terdengar suara ayahnya menyahut, "Bocah itu sudah tidak mempunyai darah lagi, Kumala."

"Aku tahu, Ayah. Justru itu aku mohon izinmu untuk membangkitkan bocah lugu ini, Ayah. Aku akan mengisinya dengan darahku, supaya dia mempunyai...."

"Jangan!" tegas Dewa Permana. Hanya Kumala yang mendengarnya. Dan satu orang lagi yang mencuri dengar percakapan super gaib itu. Orang tersebut adalah Buron.

Ia menggunakan telinga jinnya untuk menyadap percakapan rahasia itu. Tentu saja kalau sampai bocor, pasti akan menimbulkan kegemparan yang melebihi bocornya percakapan via telepon dari orang penting ke orang penting.

"Ayah, aku tidak bisa menangkap si pencuri darah, karena belum sempat kulacak. Tapi pekerjaan yang paling utama harus kulakukan adalah menyelamatkan masa depan anak ini dari kematian tanpa dosa! Garis kematiannya pun kulihat masih jauh dari saat sekarang. Masa hidupnya telah dirampas oleh tindakan keji dari si penghisap darah itu, Ayah! Jadi kurasa, bocah ini masih punya hak untuk hidup. Masih punya hak pula untuk dialiri darah dalam raganya, Ayah!"

"Benar, tapi jangan pakai darahmu! Kalau darahmu yang mengalir dalam raganya, berarti dia adalah anak dewa, dan punya hak untuk hidup di Kahyangan. Padahal dia anak pilot, bukan?" Suara sang ibu terdengar pula, "Jangan, samakan status ayahmu dengan pilot, Sayang. Nanti merosot harga diri ayahmu kalau disamakan dengan pilot!"

"Baik, Ibu. Ayah memang bukan pilot. Tapi persoalan ini bukan terletak pilot atau bukan pilot. Persoalan ini terletak pada roh manusiawiku yang tak bisa melihat bocah tanpa dosa jadi korban kekejaman gaib begini, Ibu!"

"Kamu ini kok malah mirip Bidadari Gugat!" gerutu sang ibu yang memang selalu tampil jenaka.

"Tapi baiklah, Sayangku. Ibu dan Ayahandamu mengerti perasaanmu, paham dengan naluri kemanusiaanmu."

"Jadi menurut Ibu bagaimana?"

"Ibu sih... okey-okey saja. Keputusannya tergantung ayahandamu, Sayang."

"Ayah, aku minta keputusan sekarang juga, boleh atau tidak aku menghidupkan bocah ini?"

"Kalau tidak boleh, bagaimana?" pancing sang ayah.

"Kalau tidak boleh, rohku akan kutransfer ke raganya. Biarlah bocah ini hidup dan aku yang mati."

"Hush! Jangan senekat itu, Anakku!" sergah suara Dewi Nagadini.

****

48.  Perempuan Penghisap Darah✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang