6

48 12 0
                                    

Niko mengakhiri makannya.

"Nggak nambah?"

Niko menggeleng. "Takut gemuk."

Kumala tersenyum kecil. "Gemuk malah cakep."

"Cakep apanya? Kayak tong sampah, iya!"

"Tong sampah yang cakep kan ada, Nik."

"Alaaa... biar cakep kalau namanya tong sampah jelas nggak menarik sama sekali."

"Kalau buatku ternyata menarik, bagaimana?"

"Memangnya kamu suka cowok yang gemuk? Kalau suka, ya udah... aku mau gemukkan badan."

"Biar aku suka padamu? Uuh, nggak janji deh!" cibir Kumala yang membuat Niko dongkol tapi juga tersipu malu.

Belum sampai mereka menurunkan nasi yang ditelannya agar menetap di perut, tiba-tiba dering handphone berbunyi. Kumala segera menyambarnya dari dekat minuman air putihnya. Ia melirik display HP sebentar untuk mengenali nomor telepon yang datang dari si penelepon.

"Sersan Burhan," gumamnya sambil menatap Niko. "Ada apa, ya?"

"Udah buruan dijawab tuh. Malah bengong aja!" gerutu Niko.

"Hallo, selamat siang, Pak Sersan," sapa Kumala kepada sersan muda yang masih membujang itu.

"Kumala Dewi, apa kamu ada waktu saat ini?"

"Saya sedang makan bersama Niko, Pak Sersan."

"Oh, sorry. Tapi kuharap selesai acaramu meluncurlah ke sini secepatnya."

"Anda berada di kantor, Pak Sersan?"

"Tidak. Aku ada di TKP, Jalan Bonilla, belakang Gedung Summo."

"Oh, dekat dong. Cuma sepuluh menit dari tempat makan saya. Memangnya ada apa, Boss?"

"Kematian misterius. Korban dalam keadaan kering seperti kayu bakar. Tanpa darah setetes pun dalam tubuhnya."

"Ooh!" Dewi Ular terperanjat dan mulai bersemangat.

"Saya dan Niko akan ke sana secepatnya! Kurang dari lima
belas menit!"

Mendengar penjelasan dari Dewi Ular, Niko pun jadi bersemangat. Ia menelepon salah satu teamnya, agar meluncur secepatnya ke TKP sambil membawa handycam, sementara team lengkapnya diminta menyusul ke Jalan Bonilla secepatnya pula.

Dengan menggunakan mobilnya Niko, Escudo merah tua, Dewi Ular tiba di tempat kejadian perkara, yaitu sebuah perkantoran empat lantai yang banyak dikunjungi orang. Kantor itu adalah sebuah biro perjalanan yang menempati lantai pertama. Di dalam kantor itu, seorang karyawati berparas cantik menawan telah terkulai di atas meja kerjanya dalam keadaan tidak bernyawa.

"Namanya Arisna. Usia 26 tahun, masa kerja sudah 2 tahun lebih," kata Sersan Burhan memberikan keterangan kepada Kumala Dewi yang tetap didampingi Niko.

Menurut keterangan rekan sekerjanya, Arisna yang setiap harinya selalu lincah, ceria dan senang bercanda itu, sekitar pukul sebelas tadi dijemput oleh seorang pemuda tampan yang sedang ditaksirnya. Pemuda itu mengajaknya makan siang, walau belum waktunya. Arisna tak menolak, karena memang suasana kantor sedang sepi tamu. Kabarnya, mereka berdua pergi tak begitu lama. Sekitar pukul satu kurang sepuluh menit, Arisna sudah kembali. Ia diantar oleh cowok ganteng itu.

"Malahan dia sempat melayani seorang tamu wanita yang ingin memesan ticket pesawat ke Bali," kata sang teman sambil menangis sedih. "Setelah tamu itu pergi, dia sempat...sempat bilang pada saya kalau pandangan matanya berkunang-kunang dan kepalanya pusing sekali. Saya... saya justru menggoda dia dengan mengatakan terlalu banyak makan, mentang-mentang makannya ditemani cowok ganteng. Tapi... tapi dia tidak menanggapi kelakar saya itu. Dia justru meletakkan kepalanya di meja dengan berbantalan kedua tangannya. Saya kira dia bohong, kami menertawakannya. Tapi ketika kami melihatnya terlalu lama dalam posisi menelungkupkan wajah, kami curiga. Teman saya yang satu berusaha membangunkan, eeh... dia justru tergeletak dengan mulut sedikit terbuka dan... dan tidak bernapas lagi...."

"Dugaan kami sementara ini," kata Sersan Burhan, "ada kemungkinan korban diberi racun oleh pemuda yang mengajaknya makan bersama tadi. Racun itu bekerja agak lambat, sehingga kematiannya tiba setelah cowok itu jauh darinya."

Kumala Dewi menggelengkan kepala sambil menutup kain putih yang menyelubungi jenazah korban. Jenazah itu segera dibawa masuk ke mobil ambulance.

"Bukan racun, menurutku," kata Kumala. "Kondisi mayat korban sama dengan mayat hakim wanita dan dokter spesialis yang tewas di depan para peserta seminar, beberapa hari yang lalu. Bukankah begitu, Nik?"

"Ya, aku yakin memang begitulah kenyataannya."

"Yang paling jelas bagiku, keadaan mayat korban sama seperti kematian Ekey, lima hari yang lalu."

"Ekey siapa maksudmu, Kumala?"

Kumala Dewi belum sempat menjawab, percakapan di luar kantor dan di bawah pohon yang ada di tempat parkir itu pun terhenti. Kehadiran seorang lelaki bersedan biru metalik itu memancing perhatian Niko, membuat Niko menyapa dengan lambaian tangan.

"Hei, Ken!"

Rupanya pemuda itu adalah Kenyon yang sudah cukup lama kenal dengan Niko Madawi. Karena sudah beberapa waktu tidak saling jumpa, maka Kenyon pun segera menyodorkan tangannya dan berjabatan dengan Niko. Ia memaksakan diri untuk ramah, walau sebenarnya hati Kenyon menyimpan kegelisahan yang dapat dirasakan oleh kekuatan batin Dewi Ular.

"Bagaimana kabarnya, Nik? Makin gemuk aja kamu ini."

"Ah, bisa aja luh. O, ya... kenalin, ini Kumala Dewi, dan ini Sersan Burhan."

Saat tangan Kumala bersalaman dengan Kenyon, ia merasakan ada getaran yang mengalir dari hatinya. Getaran itu adalah getaran kecemasan yang meresahkan jiwa. Sepertinya pria ganteng itu sedang menghadapi masalah yang menjengkelkan, sekaligus mencemaskan dan menegangkan.

"Nik, ada apa ini kok banyak orang di sini?"

"Kematian misterius terjadi di kantor biro peijalanan itu."

"Hah!" Kenyon semakin tegang. Ekspresi dan sikapnya diperhatikan betul oleh Sersan Burhan dan Dewi Ular.

"Kamu sendiri ngapain kemari? Ada bisnis sampingan atau..."

"Aku mencari temanku, Winne, namanya. Tadi aku ke kantornya. Kata teman kantornya, dia kemari. Mau pesan ticket. Maka kukejar kemari karena...." Belum habis Kenyon menjelaskan, tahu-tahu seorang karyawan dari biro perjalanan itu berseru dari depan kantor yang sudah dilingkari pita kuning kepolisian itu.

"Pak Polisi! Itu dia orang yang meracuni Arisna dari rumah makan tadi! Pemuda itulah yang tadi pergi dengan Arisna, Pak!"

"Arisna! Ada apa dengan Arisna?!"

"Dia tewas setelah Anda pergi, Bung!" jawab Sersan Burhan. Ketegangan Kenyon semakin memuncak, mulai tampak gusar dan panik.

Akhirnya pihak kepolisian membawanya ke kantor polisi untuk dimintai keterangan lebih lengkap lagi. Teman- teman Arisna saling berseru mengutuk Kenyon, karena menurut anggapan yang mereka yakini, Arisna meninggal akibat racun, dan Kenyon itulah orang yang meracuninya.

"Dewi," bisik Niko. "Aku nggak percaya kalau Kenyon tega berbuat sekejam itu. Aku yakin kematian korban bukan karena diracuni. Tolong jelaskan kepada pihak yang berwajib, Dewi!"

"Setahuku dia menyimpan sesuatu yang mencemaskan dirinya sendiri. Ada rahasia yang mengandung resiko, dan ia ingin menanggung resiko itu sendiri."

"Rahasia apa?"

"Kurang jelas. Karena saat ini pikirannya sangat kacau dan jiwanya langsung menjadi error, sehingga kecamuk batinnya sulit dilacak."

"Ah, setahuku Kenyon selalu blak-blakan padaku kalau dia punya masalah apa saja, sekalipun masalah pribadi. Aku dan dia pernah satu lifting saat kami sama-sama mengikuti pendidikan peragawan dan foto model. Hanya saja, ia lebih cinta dengan komputernya, sedangkan aku mencoba menekuni bidang itu, walau akhirnya alih profesi ke reporter. Tapi... pada dasarnya aku berkawan dekat dengannya. Kami saling terbuka, dan..."

"Kalau begitu desaklah dia supaya mengaku!" potong kumala, membuat Niko diam ternganga tanpa suara.

****

48.  Perempuan Penghisap Darah✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang