11

49 12 0
                                    

"Oom Hans belum landing, Tante?"

"Uuh, papanya Ekey sih kalau landing secepat kilat. Kayak nggak tahu aja kesibukan oom-mu itu, Ken. Baru dua hari yang lalu pulang, eeh... besoknya sudah harus take-off lagi. Biasa, kerja di maskapai penerbangan asing kalau nggak disiplin bisa dipecat, Ken."

Melihat keakraban itu, Kumala bertanya, "Nyonya Lieza sudah lama kenal Kenyon rupanya?"

"Papanya Ekey yang bawa-bawa dia ke rumah. Dulu sempat jadi rekanan dalam bisnis spektakuler selama hampir-hampir satu tahun kalau nggak salah, ya Ken?"

"Ya," jawabnya pendek. Beban moral, tekanan batin dan rasa malu semakin tampak jelas dalam sikap Kenyon.

Hati Niko pun menjadi semakin curiga. Namun kesempatan untuk bertanya tidak ada, sebab Nyonya Lieza mengambil tempat duduk berdekatan dengan Kenyon. Untung saja kunjungan keluarga yang ingin menyampaikan rasa terima kasihnya kepada Kumala itu tidak terlalu lama. Hanya setengah jam kurang, mereka langsung pamit setelah menyerahkan bingkisan mahal kepada Dewi Ular. Kebetulan malam juga sudah menunjukkan pukul 9 lewat beberapa
menit. Ditto dan Ekey sudah mengantuk.

Ekspresi wajah Kenyon berubah merah, tidak sepucat tadi. Seolah-olah darahnya mengalir kembali ke wajah. la pun tampak lega. Namun debar-debar ketegangan hatinya masih belum berhenti tuntas dan tak dapat disembunyikan dari mata mereka.

Kenyon pun sehabis mengantar kepulangan Nyonya Lieza sekeluarga segera masuk ke ruang tengah lebih dulu, duduk tertegun sambil berlagak memandangi layar teve yang sedang ditonton Mak Bariah. Maka Niko dan yang lainnya segera menyerbunya dengan masing-masing memamerkan ekspresi ingin tahunya.

"Ken." Kata Niko, "kayaknya kamu ada persoalan dengan Nyonya Lieza tadi, ya? Jujur aja luh. Ada apa sebenarnya?"

"Sikapmu sangat berbeda, Ken," timpal Kumala. "Terus terang, kami curiga dan ingin tahu apa sebenarnya yang kamu sembunyikan dari pertemuan tadi?"

Sorot pandangan mata Dewi Ular mengandung getaran gaib yang membuat hati Kenyon tak dapat berdusta Lagi. Sebenarnya ia  bermaksud merahasiakannya, tapi gemuruh dalam dadanya semakin kuat, mendesak nuraninya untuk berkata apa adanya di depan Dewi Ular.

"Yaah, kuakui... aku memang agak takut dengan Tante Lieza, terutama kepada anaknya yang kecil tadi, Ekey."

"Kenapa?" desak Niko sambil duduk di samping Kenyon.

"Anak itu..." Kenyon diam karena ragu sesaat. Tapi akhirnya dilanjutkan kembali kata-katanya. "Kusangka anak itu sudah mati kehabisan darah. Ternyata masih hidup dengan segar begitu. Benar-benar nggak nyangka anak itu kuat dan nasibnya bagus sekali."

Mereka membiarkan Kenyon menerawang sesaat, lalu Niko bertanya lagi, "Kenapa kau menyangka Ekey sudah meninggal?"

"Darahnya..." Kenyon ambil napas, sepertinya sulit sekali mengatakan hal yang sebenarnya karena diliputi perasaan takut yang mencekam hatinya.

"Darah anak itu... kutahu persis sudah disedot oleh Winne."

"Winne!" gumam mereka hampir serempak.

"Yah, sekarang aku ingat! Aku ingat betul bahwa orang yang kuanggap membahayakan jiwa Arisna adalah Winne."

"Kenapa Winne?" tanya Niko.

"Winne yang mana?" desak Kumala.

Wajah ganteng itu dicekam kesedihan sekaligus kengerian yang terbungkus penyesalan cukup dalam. Hampir saja ia menangis mengenang kematian Arisna, karena ia kini tahu persis siapa pelakunya.

"Aku nggak tahu persis, siapa sebenarnya Winne. Aku kenal dia pada malam hujan deras dan mobilku terperangkap banjir. Kusangka dia bukan gadis jahat. Tapi setelah kutahu dia selalu membutuhkan darah setiap lima hari sekali, aku jadi ngeri berteman dengannya. Tapi anehnya aku tak bisa meninggalkan Winne begitu saja."

Kumala manggut-manggut. Ingatannya membenarkan pengakuan Kenyon tentang Winne. Sebab ketika Kenyon bertemu dengannya di tempat parkir kantornya Arisna, saat itu Kenyon sempat menyebutkan nama Winne sebagai orang yang dicarinya. Sersan Burhan juga mendengar kata-kata Kenyon itu. Tapi, agaknya nama Winne kurang diperhatikan oleh mereka, termasuk oleh Niko.

"Sewaktu aku pulang makan siang dengan Arisna, aku pergi ke kantornya Winne di BBC Building. Aku bermaksud mengantar pesanan Winne yang dipesannya pagi hari dan baru bisa kubelikan pada siang itu..."

"Pesanan apa?"

"Pizza. Aku memang terlambat mengantar pesanannya itu karena waktuku tersita buat makan siang bersama Arisna. Namun ketika aku tiba di sana, kudapatkan informasi dari temannya bahwa Winne pergi ke kantornya Arisna. Sebelumnya ia sempat ngomel-ngomel dan bilang pada temannya, bahwa ia yakin siang itu aku menemui Arisna. Maka ia pun pergi ke kantornya Arisna dengan marah. Aku buru-buru lari ke kantor Arisna, maksudku mencegah kemarahannya. Tapi... terlambat. Winne sudah lebih dulu meluapkan kemarahannya kepada Arisna dengan caranya yang sadis, yaitu menghirup
darah Arisna hingga kering kerontang."

"Kok dia marah sama Arisna, alasannya apa?" sela Niko.

"Dia sangat cemburu," jawab Kenyon pelan.

"Cemburu!" gumam Niko dan Kumala bersamaan.

"Jadi..." sela Buron tegas. "Sebenarnya yang jadi pacarmu itu Arisna atau Winne?"

"Ceritanya begini..." Kenyon tarik napas dalam-dalam. Agaknya ia harus ceritakan juga peristiwa sebenarnya di depan mereka, karena tatapan mata mereka menuntut penjelasan lebih lengkap lagi.

****

48.  Perempuan Penghisap Darah✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang