"Kau kerja di mana, Win?"
"Kantorku di BBC Building lantai tujuh."
"Oh, temanku juga ada yang kerja di BBC Building. Apa nama perusahaanmu?"
"PT Armon Nusa."
Kenyon ingat tentang PT Armon Nusa yang memang berada di lantai tujuh BBC Building. Tapi apakah Winne tahu, bergerak di bidang apakah perusahaan tersebut?
"Jasa pengiriman dokumen dan asuransi jiwa."
"Benar juga," pikir Kenyon.
"Kau di bagian asuransinya?"
"Bukan. Aku di bagian pengiriman dokumen."
"Pasti sekretaris," pancing Kenyon.
"Data Analyst."
"Ooo..." Kenyon manggut-manggut, mulai lega hatinya.
"Siapa temanmu yang kerja di sana?"
"Wijanarko."
Winne berkerut dahi. "Kayaknya nggak ada deh yang namanya Wijanarko."
"Dia sudah lama keluar dari sana dan pindah ke perusahaan asing," jawab Kenyon menutupi kebohongannya. Dalam hati ia tertawa. geli, hampir saja dirinya sendiri yang terjebak oleh pancingannya. Rasa curiganya terhadap Winne semakin berkurang.
Tapi anehnya, semakin lama mobil itu bergerak semakin lambat. Padahal jalanan sudah tidak digenangi air lagi. Mestinya mobil itu bisa bergerak lebih cepat, atau bahkan kalau perlu bisa dipakai untuk ngebut. Kenyataannya laju mobil semakin berat, sepertinya memuat barang yang melebihi kapasitas beban mobil.
"Kok jadi begini mobil ini? Berat amat!" gumam Kenyon bernada terheran-heran. Gas ditambah, mesin menderu keras, tapi kecepatan mobil justru semakin lambat.
"Ada yang nggak beres pada versnalingnya kali," kata Winne.
"Nggak tahu nih, apanya yang rewel!" Kenyon menggerakkan tongkat versnalingnya berkali-kali, tapi laju mobil masih seperti mengangkut beban berat. Padahal hujan masih deras dan tujuan masih jauh. Jalanan masih sepi dan bengkel tak ada yang buka. Pertokoan tutup, tanda see-food di pinggir jalan tak ada yang buka.
"Mau dibongkar dulu? Periksa beberapa bagian yang sekiranya memperberat tekanan mobil ini?" Winne setengah mengajukan usul, setengah saran juga.
"Hujan sederas ini mau bongkar mobil? Wah, bisa tambah parah nanti. Bukan mobilku saja yang kronis, tapi pemiliknya juga ikut kronis nanti," kata Kenyon berseloroh.
Winne tertawa kecil. Tapi karena mobil itu makin lama semakin berat, nyaris seperti kura-kura berjalan, mau tak mau Kenyon menepikan mobilnya di kolong jalan layang. Di sana ada tiga pengendara motor yang sedang meneduh. Kenyon semakin merasa tenang. Kalau toh terjadi apa-apa, ada tiga pengendara motor
yang bisa dimintai bantuannya.Winne ikut sibuk memeriksa mesin. Kenyon tak tahu apakah gadis itu benar-benar mengetahui seluk beluk mesin, atau hanya sekedar partisipasi.
Yang jelas, Kenyon tidak menemukan kerusakan apa pun pada mesin mobilnya. Mereka berdua mencobanya kembali. Mobil meluncur dengan lancar. Kenyon merasa lega, walau ia tak tahu apa penyebabnya.Namun beberapa kilometer kemudian, laju mobil menjadi lamban kembali. Seperti membawa barang berat, atau seperti ada yang menahan dari belakang. Kenyon menjadi gusar, berkali-kali mendesah jengkel.
"Mestinya memang dibakar aja mobil ini!"
"Boleh kasih saran?" kata Winne.
"Saran apaan?"
"Jalan saja terus sampai perempatan sana belok ke kiri. Satu kilometer dari perempatan jalan itu sudah sampai rumahku."
"Lho, katanya rumahmu di Kelapa Dua. Ini kan masih jauh dari daerah Kelapa Dua?"
"Maksudku, aku tinggal di Kelapa Dua pada hari libur, sebab rumah di sana adalah rumah orangtuaku. Tapi setiap hari kerja aku kost di Tebet, satu kilometer dari perempatan jalan itu."
"Ooo..."
"Pikirku, besok kan hari Sabtu, kantorku libur. Aku mau pulang ke Kelapa Dua. Tapi kalau keadaan begini... besok aja pulangnya. Sekarang pulang ke tempat kost aja. Kau bisa bongkar mobil ini di sana. Ada garasi nganggur kok. Garasi cuma pakai atap saja sih, nggak pakai dinding. Mungkin saja mesinnya tadi basah akibat terendam air, jadi menghambat sistem mekanisnya."
Sebuah tawaran yang sederhana dan masuk akal sekali. Tapi apakah di balik tawaran itu tersimpan maksud-maksud pribadi yang tak mudah diketahui siapa pun? Dapatkah tawaran itu diartikan lain oleh Kenyon?
Mobil terus menggelinding dengan lambat. Akhirnya sampai juga di tempat kost berbentuk huruf L. Winne menempati kamar paling pinggir. Di samping kamarnya itu memang ada garasi kosong, tanpa dinding, selain hanya atap awning.
Apa yang dikatakan gadis itu memang benar. Bukan sebuah tipu muslihat. Tapi Kenyon masih menduga-duga dalam hatinya. Setulus itu kah saran dan usul yang dilontarkan Winne tadi?
****
Di hari lain hujan juga turun dengan deras. Buliran air dari langit itu bagaikan diguyurkan ke atap sebuah rumah indah berhalaman luas. Rumah itu merupakan satu dari empat rumah indah yang ada di kompleks pemukiman para selebritis maupun eksekutif muda yang frekuensi bisnisnya sedang melambung tinggi.
Rumah yang memiliki pendapa di bagian belakangnya itu. Perumahan Pasundan Permai. Pedagang rokok yang mangkal di ujung jalan bersebelahan dengan warung mie rebus itu kenal betul siapa pemilik rumah nomor 17 itu. Hampir semua orang yang bekerja atau berdagang di Pasundan Permai, entah itu tukang ojek ataupun petugas Hansip, tahu persis bahwa rumah bernomor keramat itu milik seorang gadis cantik yang punya kharisma tinggi, namun cukup supel, ramah, serta anggun.
"Bang, numpang tanya, Bang. Kalau rumah nomor tujuh belas, Jalan Manila Utara itu di sebelah mana, Bang?" tanya sopir taksi kepada si pedagang rokok.
"Oo, itu tuh... yang ada puranya di setiap sudut halaman. Pagarnya besi putih mengkilap itu, Kang!"
"Yang punya dua lampu terang di kanan-kiri gerbang itu?"
"Benar. Yang dimaksud, rumahnya Non Kumala Dewi, kan?"
"Ya, benar!" sahut penumpang taksi.
Tampaknya penumpang taksi itu punya kepentingan yang sangat mendesak, sehingga hujan-hujan begini ia memaksakan diri untuk datang ke rumah paranormal cantik yang dikenal dengan nama Kumala Dewi, alias Dewi Ular.
Nama itu memang cukup kondang di dunia mistik. Sebab si cantik jelita Dewi Ular sering melakukan tindakan penyelamatan terhadap manusia secara magis. Kekuatan supranaturalnya sering membuat beberapa paranormal lainnya merasa iri, namun mereka tak pernah mampu menandinginya, karena Kumala Dewi adalah anak dewa asli dari Kahyangan. Dibuang ke bumi karena kasus ayah-ibunya, yaitu Dewa Permana dan Dewi Nagadini.
Dan ia baru diizinkan kembali ke Kahyangan setelah menemukan cinta sejati dari seorang anak manusia yang kelak akan menjadi pendamping hidupnya. Tak heran jika seorang perempuan berusia 35 tahun nekat bertamu ke rumah Dewi Ular di atas pukul 9 malam, karena menurutnya hanya anak dewa itulah yang mampu mengatasi masalah gawatnya.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
48. Perempuan Penghisap Darah✓
ParanormaleSilakan follow saya terlebih dahulu. Serial Dewi Ular Tara Zagita 48 Seorang pemuda tampan bernama Kenyon terlibat skandal cinta dengan gadis cantik yang mempunyai daya tarik melebihi magnit kutub utara: Winne, namanya. Bagi pemuda itu, Winne adala...