17

48 11 0
                                    

Dewi Ular punya perhitungan sendiri dalam menghadapi Winne yang belum diketahui asal usul dan jati dirinya itu. Jika baru tadi siang Winne menyerap darah Arisna, berarti kekuatan Winne sedang dalam kondisi prima. Energinya sedang penuh-penuhnya. Tapi dalam waktu dua-tiga hari lagi, energi itu akan berkurang dan tingkat kekuatan Winne pun diperkirakan tidak akan setangguh sebelumnya.

Tapi haruskah seorang gadis anak bidadari dan putri kesayangan Dewa Permana yang kesohor berilmu tinggi itu menunggu saat kelemahan lawannya tiba? Tidak. Dewi Ular tidak mau dianggap licik atau pengecut. Prima atau tidak kekuatan Winne tetap harus segera dilumpuhkan.

Hanya saja, dibutuhkan suatu perhitungan yang matang, supaya tidak menimbulkan korban di pihak yang tak bersalah. Kumala tak ingin ada pihak lain yang jadi korban kekuatan penghisap darahnya Winne jika nanti ia berhadapan dengan perempuan itu.

"Kenyon, kuharap kau tetap diam di rumahku ini. Jangan kemana-mana, sebab dalam firasatku mengatakan bahwa kau sedang dicari Winne. Mungkin untuk disedot darahnya, mungkin juga untuk disedot kemesraannya. Yang jelas, demi
keselamatanmu, jangan keluar dari rumah ini sebelum keadaan benar-benar aman!"

"Baik, aku ikut saja apa saranmu," kata Kenyon dengan pasrah.

"Buron, kau tetap di rumah. Jaga sobat kita ini!"

Pemuda berambut kucai dengan tubuh tak terlalu kurus itu hanya menganggukkan kepala. Agak kesal hatinya, karena tugas itu menandakan bahwa Kumala tidak mengizinkannya untuk bertarung melawan kekuatan ilmunya si perempuan penghisap darah. Dan kalau Dewi Ular sudah memutuskan begitu, Buron jarang sekali berani menentang keputusan tersebut, kecuali kalau ia sedang mood bandelnya.

Pagi itu masih ada sisa embun di pucuk dedaunan. Dewi Ular dan Sandhi meluncur ke rumah Kenyon, Niko tidak bisa ikut karena harus menghadiri pertemuan di kantornya. Ia hanya sempat berpesan kepada Kumala dalam bisikan lembutnya.

"Jangan sampai terluka sedikit pun gadis yang kucintai selama ini. Kalau sampai ia terluka, aku komplain ke HAM."

Kumala Dewi hanya tersenyum dingin, setengah mencibir. Tapi dalam hatinya ada desiran lembut yang membangkitkan semangatnya untuk segera melumpuhkan Winne. Seolah-olah hari itu juga Kumala ingin menunjukkan pada Niko bahwa gadis yang dicintai Niko berhasil melumpuhkan lawan tanpa luka sedikit pun. Padahal ia sadar bahwa gadis yang dicintai Niko adalah dirinya sendiri.

"Romantis juga anak itu," gumam Kumala dalam hatinya.

BMW kuning menyala tiba di rumah mungil dalam sebuah kompleks pemukiman elite. Wajah Sandhi agak tegang saat memberitahukan bahwa dugaannya tidak salah, rumah mungil itulah rumahnya Kenyon.

"hati-hati, Mala," bisik Sandhi sebelum kumala turun dari mobilnya. Kumala menatap sopir pribadinya itu.

"Hei, nggak usah tegang begitu, San!" senyum Kumala sengaja dipamerkan untuk menenangkan Sandhi. "Anggap saja ini kunjungan biasa. Bukan sesuatu yang berbahaya."

"Aku menganggap begitu juga kok."

"Kenapa keringat dinginmu keluar?"

Sandhi mengusap keningnya. Tersenyum kaku. "Nggak tahu nih. Mungkin gejala masuk angin," ujarnya menutupi rasa malu atas sindiran itu.

Tawa kecil Kumala akhirnya mengurangi beban ketegangan hati Sandhi. Dalam keadaan menghadapi bahaya seperti saat ini, Sandhi selalu tidak mau tinggal diam, menunggu di dalam mobil. Ia selalu ikut turun dan mendampingi Kumala dari belakang, sekalipun sebenarnya ia tidak mempunyai ilmu apa pun untuk
menghadapi bahaya gaib, tapi sebagai sopir yang sudah dianggap seperti saudara sendiri itu Sandhi merasa perlu membayangi Kumala. Ia tak rela jika majikan cantiknya sampai terluka atau cedera lebih berat lagi.

"Suasananya sepi sekali," bisik Sandhi saat Kumala mendorong pintu gerbang, ternyata pintu besi itu tidak terkunci.

"Kayaknya kita akan gagal nih, San. Aku nggak menangkap getaran energi gaib apa pun tuh."

"Mungkin dia sudah berangkat ke kantor. Kita susul ke kantornya saja, bagaimana?"

"Tunggu dulu dong. Belum diperiksa lebih cermat, sudah mau pergi aja!" Kumala bersungut-sungut kecil.

Bel tamu ditekan. Tak berapa lama muncul seorang perempuan berusia sebaya dengan Mak Bariah, tapi badannya kurus dan berkulit hitam. Kumala langsung mengerti, perempuan berkebaya itu pasti Mak Yem, pelayannya Kenyon.

"Tuan ada, Mak?"

"Tuan, hmmmm. Tuan belum pulang dari kemarin, Nona."

"Kalau... Winne, ada?"

"Non Winne juga belum pulang dari kemarin tuh."

"Mak Yem tahu di mana mereka berada?" pancing Sandhi.

"Wah, saya nggak pernah tahu kalau beliau berdua pergi ke mana tujuannya. Tapi, kayaknya Tuan Ken nggak pergi bersama Non Winne, Mas. Soalnya dari semalam Non Winne telepon kemari terus, menanyakan Tuan Ken. Malahan baru saja lima menit yang lalu Non Winne habis telepon juga."

"Apa dia meninggalkan pesan buat Tuan Ken?" tanya Kumala.

"Ya. Non Winne cuma bilang, kalau Tuan Ken datang diminta segera menghubungi Nona Winne di telepon biasanya. Gitu aja tuh."

Dewi Ular dan sopirnya meninggalkan rumah Kenyon saat jarum jam menunjukkan pukul 10 tepat. Dari dalam mobilnya, Kumala menelepon Kenyon, menanyakan nomor telepon 'biasanya' itu. Sudah pasti hanya Kenyon yang tahu. Dan ternyata telepon yang dimaksud adalah telepon kantornya Winne.

"Hubungi saja ke kantornya, tanyakan dulu kepada Allen, apakah dia sudah datang atau belum," saran Kenyon.

"Siapa Allen itu?"

"Teman dekatnya di kantor itu. Mejanya berseberangan dengan meja kerja Winne."

"Kalau sampai dia nggak ada, atau nggak masuk kerja, kira-kira ada di mana dia?"

"Tempat kostnya. Sebab dia belum resmi pindah dari tempat kost itu, dan masih ada beberapa barangnya yang belum dibawa ke rumahku."

Setelah mencatat dalam ingatannya tentang alamat tempat kost tersebut, Kumala segera menghubungi Allen melalui HPnya. Pada saat itu ternyata Winne belum datang.

"Tapi dia akan datang, tadi sudah telepon kemari. Dia sedang ada urusan di bank. Sekitar pukul sebelas baru tiba di kantor," kata Allen polos-polos saja, karena Allen tidak mengetahui persoalan yang sedang dihadapi Winne sebenarnya.

Allen justru menyarankan agar Kumala menunggu kedatangan Winne di kantor itu. Tapi menurut pertimbangan Kumala, ia lebih baik memeriksa tempat kost yang ada di daerah Tempat itu.

"Apa nggak bisa dilacak dengan kekuatan batinmu?" tanya Sandhi.

"Kalau bisa, nggak perlu kutanyakan ke sana-sini tentang keberadaannya."

"Jadi, dia itu sebenarnya iblis dari mana kok nggak bisa dilacak dengan teropong gaibmu sih?"

"Kita akan tahu dari mana asalnya setelah bertatap muka dengan perempuan itu."

Sampai di tempat kost, Kumala dan Sandhi justru sibuk menghindari kerumunan massa. Ternyata di situ telah terjadi peristiwa yang memancing perhatian massa setempat. Seorang pemuda, pacar salah satu penghuni kost di situ, ditemukan tewas di dalam mobil yang masih dalam keadaan belum diparkir dengan rapi. Pemuda itu tewas dalam keadaan kehabisan darah.

****

48.  Perempuan Penghisap Darah✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang