Keterbukaan Winne dan ceplas-ceplosnya telah berhasil menghilangkan kekakuan Kenyon, sehingga pria ganteng itu pun berani blakblakan tentang pribadinya. Waktu yang relatif singkat telah membuat perkenalan pertama menjadi persahabatan yang semakin erat. Rasa malu cepat berlalu, keromantisan pun menjelma di sela canda, tawa dan keluh kesah merka.
"Wah, gawat! Udah jam setengah sebelas nih, Win. Hujannya bukan menjadi reda malah semakin deras!"
"Memangnya kalau sudah jam segini, kenapa? Takut dimarahi orang rumah?"
"Orang rumahnya siapa? Kan aku tadi sudah bilang kalau aku belum berkeluarga."
"Berarti nggak akan ada yang marah dong kalau kamu pulang jam berapa saja?"
"Memang nggak sih."
"Ya udah. Kenapa gelisah?"
"Bukan gitu. Aku cuma merasa nggak enak kalau sampai larut malam masih berada di kamarmu."
"Nggak enak sama siapa?" Winne melirik bergaya angkuh.
"Yaah, nggak enak sama penghuni kost lainnya."
"Cuek aja!" Winne bersungut-sungut. "Toh sembilan dari dua belas kamar diisi oleh pasangan cowok-cewek yang nggak jelas statusnya. Buktinya mereka tenang-tenang saja. Mereka enak saja dengan tetangga kanan-kiri. Kenapa kita mesti merasa nggak enak? Bodoh amat kalau kita berperasaan begitu."
Kenyon hanya senyum-senyum saja, memandangi raut wajah cantik yang bersungut-sungut itu. Menurutnya, wajah cantik Winne semakin menarik dan mendebarkan hati jika sedang bersungut-sungut seperti tadi. Gemas sekali hati Kenyon, ingin mencubit pipi atau menggigit bibir gadis itu.
"Kamu tidur sini aja deh. Nggak usah pulang. Mau nggak?" Winne berpaling menatap Kenyon. Tatapan matanya punya makna menantang, seperti halnya ucapan itu sendiri.
Detak jantung Kenyon semakin cepat karena dihinggapi kegembiraan yang indah. Tantangan itu merupakan harapan yang tersimpan di lubuk hati kecilnya sejak tadi. Tapi tentu saja Kenyon tidak mau asal terima saja. Ia gemar memancing ungkapan hati lawan jenisnya dengan pertanyaan-pertanyaan yang kadang terkesan dibuat bego.
"Kalau aku nggak mau tidur di sini, bagaimana?"
"Ya, udah. Aku nggak akan memaksamu," Winne sedikit cemberut. "Kurasa kita juga nggak perlu ketemu lagi."
"Deeee... segitu aja marah!" ledek Kenyon sambil mengusap rambut Winne. "Iya deh, aku tidur sini deh. Tapi apa kompensasinya kalau aku tidur sini?"
Winne berbalik menghadap Kenyon total. Jaraknya hanya satu jengkal lebih sedikit. Matanya menatap nanar senyumnya membias samar-samar.
"Kamu maunya kompensasi kayak apa?" Winne ganti menantang.
"Kamu dong yang menentukan. Bukan aku."
"Lho, yang minta kompensasi kan kamu. Ya tentunya kamu yang menentukan jenisnya dong."
"Bener nih? Aku yang menentukan jenis kompensasinya?"
"lya dong. Tentukan saja. Apa yang kamu inginkan. Kalau aku merasa nggak sanggup, aku akan bilang nggak sanggup. Begitu pula sebaliknya."
Kenyon masih ditatap dengan lagak sok angkuh. Bahkan kedua tangan gadis itu bertolak pinggang dalam posisi masih sama-sama duduk berjarak sangat dekat. Hembusan napas dari hidung saling dirasakan menghangat di wajah masing-masing.
"Kau mau tahu yang kuinginkan? Okey..." kata Kenyon dengan berlagak tenang, padahal hatinya berdebar-debar.
"Kalau aku harus tidur sini, yang kuinginkan adalah, kehangatan!"
"Memangnya kopi panasmu tadi kurang hangat?"
"Ada yang lebih hangat dari kopi."
"Sehelai selimut tebal?" suara Winne kian pelan.
"Ada yang lebih hangat lagi dari selimut tebal."
"Coba sebutkan," sambil tatapan mata Winne mulai berubah sayu.
Kenyon mendekatkan wajah dan berbisik. "Kemesraan..."
Senyum Winne kian lebar, tampak berseri-seri kegirangan.
"Sanggupkah kau memberi kemesraan yang hangat?" bisik Kenyon.
"Sanggupkah kau mengimbangi asmaraku?" sambil bibirnya semakin mendekat dan suaranya mulai mendesah.
"Untuk wanita secantik kamu, aku selalu sanggup."
"Buktikan," suara Winne kian mendesah. Napasnya semakin menghangat di wajah Kenyon.
Kehangatan itu telah membakar gairah Kenyon, mendesak batin, untuk menuntut kenyataan indahnya. Maka bibir yang sedikit tebal tapi menggairahkan itu segera dikecup pelan-pelan oleh Kenyon. Winne menyambutnya dengan statis, seperti tak ingin melakukan perlawanan. Namun kedua matanya terpejam dan tangannya meremas lembut di pangkuan Kenyon. Sarung itu jadi sasaran remasan tangan Winne.
Kenyon sengaja melepaskan kecupan lembut itu untuk melihat reaksi di wajah cantik yang menawan itu. Oh, kedua mata indah Winne semakin sayu. Memancarkan ajakan untuk bercumbu, mengisyaratkan hasratnya untuk mendapat kecupan lembut lagi.
"Ken," bisiknya nyaris tak terdengar.
Kenyon paham maksud bisikan itu. Ia kembali mengecup bibir sensual yang punya kenikmatan tersendiri itu. Ternyata kali ini Winne memberikan balasan. Kenyon sempat diterkam debar-debar keindahan ketika bibirnya dilumat oleh Winne dengan penuh gairah. Lumatan itu makin lama semakin ganas. Kedua tangan Winne meremas rambut Kenyon sambil menyusuri punggung pemuda itu.
Tangan Kenyon sendiri bergerak secara naluri cinta. Salah satu tangan berhasil menerobos dari bagian bawah blus, lalu menemukan kehangatan yang menggetarkan jiwa di dada Winne. Sementara itu, tangan yang satunya bergerilya dengan nakalnya, menyelusup ke sana kemari.
"Oh, Ken!" desah Winne semakin sayu.
Gadis cantik itu ternyata punya irama cinta yang energik, ganas, dan liar. Ia berhasil menguasai Kenyon, berhasil memaksa pria tampan itu terkulai pasrah menerima keganasan gairahnya. Kenyon membiarkan tubuhnya dijadikan ajang cumbuan Winne. Dia bersikap menerima. Hanya sebagai penerima kehangatan gairah yang makin lama semakin menggelora itu.
Ketika telah merasa puas mencumbui Kenyon, kini Winne menuntut pembalasan serupa. Bagi Kenyon, tuntutan itu bukan sesuatu yang menekan perasaannya, malah justru membangkitkan semangat cintanya. Ia tunjukkan bahwa reaksinya lebih dahsyat daripada Winne. Hujan deras membuat suara desahan Winne tak terdengar dari kamar sebelah. Ibarat tamu, Kenyon dipersilakan masuk.
Pintu ruang tamu telah dibuka lebar-lebar. Tak perlu menunggu lebih lama lagi, Kenyon pun masuk ke rumah cinta, bahkan nyelonong sampai ke belakang. Tak ayal lagi, perahu cinta pun mulai berlayar mengarungi samudera dengan berbagai irama yang dikehendaki Winne. Kenyon dinilai sebagai lelaki yang pandai memberikan fantasi cinta luar biasa bagi Winne.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
48. Perempuan Penghisap Darah✓
ParanormalSilakan follow saya terlebih dahulu. Serial Dewi Ular Tara Zagita 48 Seorang pemuda tampan bernama Kenyon terlibat skandal cinta dengan gadis cantik yang mempunyai daya tarik melebihi magnit kutub utara: Winne, namanya. Bagi pemuda itu, Winne adala...