Saat Winne selesai mandi dan duduk di depan cermin rias, Kenyon memperhatikan wajah cantik itu dari pantulan cermin. Saat itulah ia menemukan bayang-bayang kejanggalan di wajah Winne.
"Kau pucat sekali, Sayang," bisik Kenyon sambil membungkuk dan memeluk Winne dari belakang. Lembut dan mesra sekali sikap Kenyon saat itu.
"Kamu sakit, ya? Sakit apa kecapekan?" seraya diciumnya telinga Winne dengan sentuhan kasih sayang.
"Memangnya kenapa sih wajahku? Kelihatan pucat sekali, ya?"
"He, eh. Pucat dan kelihatan bergurat-gurat seperti keriput ketuaan yang akan muncul di sekitar bawah mata, kanan-kiri hidung dan... di dekat alis ini juga kelihatan mulai berkerut."
Winne tampak mulai resah. Ia memperhatikan tempat yang ditunjukkan Kenyon. Napasnya ditarik dalam-dalam.
"Biasanya kulit wajahmu kencang, halus dan segar. Kok sekarang begini sih, Sayang?"
"Aku lupa sesuatu," gumamnya pelan.
"Lupa soal apa? Nggak minum vitamin? Nggak makan buah segar?"
"Ah, udah, udah... sana, aku mau sisiran dulu," hardik Winne dengan semakin tampak cemas. Tapi Kenyon menanggapinya dengan canda. Bahkan tangannya menggerayang nakal, meremas binal.
"Nggak usah sisiran tetap aja menggairahkan. Buat apa sisiran segala. Kalau perlu, buat apa mengenakan gaun tidur segala. Kan lebih baik nggak usah pakai apa-apa, supaya kapan saja pesawat mau landing, landasan udah siap. Tul, nggak? Hee, hee, hee..."
"Iiiih, kamu ini, Ken! Geli, ah!" Winne menghindari ciuman nakal Kenyon yang sengaja diarahkan ke ketiaknya.
Tawa pun berderai, canda pun santai. Winne lari ke ranjang, Kenyon mengejar. Mereka berguling-gulingan sesaat, akhirnya bibir mereka saling melumat. Kencan asmara pun tiba. Setelah puncak demi puncak mereka lalui penuh kebahagiaan, terkulai lemas tubuh mereka yang belum mau berpisah.
Pada saat itu Kenyon juga merasakan ada kejanggalan pada diri Winne. Perbedaan rasa yang sangat mencolok terjadi di dalam 'rumah cinta'-nya Winne. Malam itu, 'rumah cinta' tersebut bagaikan kosong tanpa penghuni. Tidak memiliki getaran yang menyerupai jari-jari membelai mesra, tidak mempunyai daya tarik seperti 'vacum cleaner' sebagaimana biasanya.Hal itu membuat Kenyon menjadi kecewa dan penasaran. "Kok gini sih, Sayang?" tanyanya masih dengan lembut.
"Apanya yang gini?" Winne menanggapi dengan malas-malasan.
"Mahkotamu kok nggak seindah biasanya sih? Kayaknya dingin, bisu dan sepi. Hambar sekali. Ada apa sebenarnya, Win sayangku?"
Setelah menarik napas dan merenggangkan jarak, Winne pun bangun dan duduk bersandar dinding dengan satu kaki ditekuk naik, satunya lagi ditekuk rebah ke samping. Ia menyalakan sebatang rokok dan menghisapnya tiga kali, setelah itu baru suaranya terdengar sedikit datar.
"Hari ini aku lupa mengisi energiku. Terlalu sibuk bicara dengan mama dan adik-adikmu, terlalu hanyut dalam rasa bahagiaku karena kau benar-benar ingin mengawiniku."
"Itu pasti. Tak boleh gagal," sahut Kenyon.
"Yaaah... justru karena hanyut oleh kegembiraan, sampai-sampai aku tak ingat bahwa hari ini adalah batas waktuku untuk mencari sumber energiku. Sumber energi ini akan habis kalau nggak segera ditambah. Kalau aku kehabisan sumber energi, maka... maka aku akan mati. Cinta kita pun akan sampai di sini."
"Oh, Win... jangan bicara seperti itu, aku nggak suka." Kenyon memeluknya erat-erat. Merangkul dari samping kiri Winne.
"Aku harus bicara padamu tentang kenyataan ini, Ken. Percuma saja kututup-tutupi kalau toh akhirnya akan terbongkar juga, sebab kita akan menjadi pasangan suami-istri yang ideal. Begitu kan?"
"Tepat sekali. Tapi... aku masih belum mengerti apa maksud kata-katamu, Sayang?"
"Setiap lima hari sekali, aku butuh sumber energi yang baru."
"Sumber energi apaan sih? Matahari?"
Winne menatap dingin sambil gelengkan kepala. "Bukan matahari yang kubutuhkan."
"Lalu, apa?"
"Darah."
"Hahh!!" Kenyon terbelalak. Kaget sekali. Sekujur tubuhnya jadi merinding semua. Untuk sesaat ia sulit bicara karena tatapan mata Winne seperti mengandung kekuatan gaib yang sangat menakutkan.
"Kamu nggak usah takut. Aku nggak akan menghirup habis darah kekasihku. Di sekelilingku banyak sumber energi yang kubutuhkan untuk menjaga kelangsungan hidupku sebagai kekasihmu."
"Ja... jadi... kematian Ernas akibat semua darahnya kamu hisap habis?"
"Orang-orang seperti Ernas itulah yang patut menjadi sumber energiku. Perempuan mana yang coba-coba menarik simpatimu, dia akan mengalami nasib seperti Ernas. Kuhirup habis darahnya untuk bekal hidupku di hari-hari berikutnya."
Kenyon menyeringai ngeri. Tangannya yang merangkul punggung Winne pun dilepaskan dengan berlagak mengusap wajahnya, membuang rasa takutnya.
"Kenapa harus begini?" gumam Kenyon seperti bicara pada diri sendiri. Wajah ceria dan senyum mesranya berubah menjadi murung dan tegang.
"Kalau sampai besok siang aku nggak mendapatkan penambahan sumber energi, maka kau akan kehilangan kehangatanku, kecantikanku, mahkotaku dan... semua itu tidak akan kau dapatkan pada perempuan mana pun, Kenyon."
"Aku sungguh tak menyangka kau punya kelainan jiwa."
"Kau menyesal?" Pertanyaan itu bernada tegas.
Kenyon jadi semakin takut. Salah-salah dia sendiri akan bisa menjadi korban jika sikapnya mengecewakan Winne, atau membuat si cantik itu marah. Oleh sebab itu, Kenyon segera menggelengkan kepala dalam menjawab pertanyaan tersebut.
"Tidak, Win. Aku tidak menyesal."
"Sungguh? Kau tidak akan lari dariku setelah tahu semua ini?"
"Nggak akan mungkin aku bisa lari darimu. "
Kenyon menatap, dipaksakan selembut mungkin. "Aku sangat mencintaimu, Win."
"Ken..." Winne menatap sayu, lembut dan mesra. Kenyon merasa lega. Karena dengan begitu Winne tidak akan kecewa, emosinya tidak akan membahayakan jiwa pasangannya.
Kenyon membiarkan dicium pipinya, dikecup bibirnya, walau sebenarnya Kenyon gemetar dalam hati dan serba salah. Bagaimana Kenyon tidak serba salah kalau sebenarnya ia sangat mengagumi dan menyayangi Winne, tapi ternyata Winne adalah perempuan penghisap darah.
Seandainya Kenyon lari meninggalkan Winne, dia akan menanggung dua resiko yang cukup berat. Pertama, tak dapat merasakan nikmatnya 'mahkota' cinta yang tidak dimiliki perempuan lain. Kedua, Winne akan sakit hati, Kenyon pasti diburu dan dijadikan korban seperti Ernas.
Pertimbangan itulah yang membuat sikap Kenyon sementara ini masih berada di persimpangan jalan. Ia tak tahu harus berbuat apa dalam menghadapi kenyataan yang cukup mengerikan itu. Dia hanya berharap, apa yang dikatakan Winne hanya sekedar siasat untuk menguji kesetiaan hatinya dengan Winne. Ia sangat berharap wanita cantik itu sengaja 'ngerjain' dirinya untuk suatu maksud yang sangat pribadi.
Tapi esok harinya, ketika Kenyon bangun tidur agak kesiangan, ia melihat Winne sudah berpakaian rapi, siap pergi ke tempat kerjanya. Wajah Winne kelihatan cerah, segar, kulitnya kencang kembali. Halus tanpa kerutan sedikit pun. Sikapnya pun kelihatan energik dan penuh semangat.
Kenyon curiga. "Jangan-jangan dia telah dapatkan korban, sehingga energinya terisi kembali?"
Untuk menghindari rasa tersinggung, Kenyon sengaja berpura-pura tidak tahu. Juga, sengaja tidak menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan jatuhnya korban. Namun ketika ia bersama Winne berangkat ke kantor, dua ratus meter dari rumahnya terdapat kerumuman orang berwajah tegang. Rupanya ada yang menemukan mayat di dalam pos Hansip.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
48. Perempuan Penghisap Darah✓
ParanormalSilakan follow saya terlebih dahulu. Serial Dewi Ular Tara Zagita 48 Seorang pemuda tampan bernama Kenyon terlibat skandal cinta dengan gadis cantik yang mempunyai daya tarik melebihi magnit kutub utara: Winne, namanya. Bagi pemuda itu, Winne adala...