5

67 13 0
                                    

"Kalau kamu mati, Ibu juga ikut mati. Pasti ayahmu juga ikut mati demi cintanya pada Ibu. Kalau semua mati, terus yang mau mengubur jenazah kita siapa?"

"Kumala," ujar sang ayah dengan wibawa, kalem, dan penuh kasih sayang. "Seandainya kau nekat begitu, percayalah, usahamu tak akan berhasil, Manisku. Kau adalah manusia berdarah dewa. Setiap dewa mempunyai immortal..."

"Immortal itu apa sih, Kanda?" tanya Dewi Nagadini.

"Immortal itu keabadian hidup. Tidak bisa mati. Contohnya, seperti Hercules!"

"Nah, itu film seri teve yang paling Ibu sukai, Kumala," sahut sang ibu, tapi buru-buru terputus oleh suara Dewa Permana.

"Jangan bicara soal teve! Kita belum bayar iurannya!"

Kumala jengkel dan berseru, "Terus bagaimana dengan bocah ini, Ayah?!Kenapa jadi melantur sih?!"

"Kanda, segeralah kasih jawaban. Anak kita mulai sewot tuh!"

"Kumala Dewi, putriku yang cantik jelita. Baiklah, gunakan kekuatan mahasaktimu untuk menghidupkan bocah tak berdosa itu. Tapi ambillah darah dari sanak saudaranya, ayahnya, ibunya, kakaknya, pamannya, bibinya, atau siapa saja yang masih satu darah dengannya. Ambil sedikit-sedikit dan jadikan satu dalam raganya. Maka bocah itu akan hidup dengan darah yang sejenis darahnya semula."

"Terima kasih, Ayah!" suara Kumala terdengar ceria sekali.

"Ingat, habis ini jangan desak lagi Ayah dengan persoalan yang sulit Ayah tolak, ya?"

"Satu lagi pertanyaanku, Ayah. Siapa penghisap darah itu sebenarnya?"

"Itu tugasmu sebagai manusia di bumi. Ayah tak boleh bocorkan jawabannya, sebelum kau berusaha sekuat tenaga untuk menemukan pencuri darah itu. Usahamu nanti akan menambah kedewasaanmu dan membuat dirimu menjadi lebih dikasihi manusia maupun para dewa di sini. Nah, selamat bekerja, Putriku yang manja!"

"Ayah...! Ayaaaah...!"

Yang muncul suara ibunya, "Ayahmu sudah jauh. Beliau tidak mendengar suaramu, Sayang."

"Tapi Ibu mendengar suaraku, bukan?"

"Tidak. Ibu juga tidak mendengar," jawab sang ibu dengan nada konyol, membuat hati Kumala tertawa geli dan semakin berseri-seri.

****

Pemuda berambut cepak rapi dan selalu trendy itu manggut-manggut mendengar cerita dari Kumala. Pemuda mantan peragawan yang sedang menikmati santap siangnya bersama Dewi Ular itu tak lain adalah Niko Madawi, yang kini berprofesi sebagai reporter dan pembawa acara sebuah tayangan berbau mistik di station teve swasta, yaitu 'Lorong Gaib'.

"Sayang sekali, lima hari yang lalu aku masih di Toraja, sehingga nggak bisa meliput kesaktianmu dalam menghidupkan bocah itu. Padahal peristiwa ajaibmu itu merupakan materi yang sangat bagus dalam acaraku, dan pasti akan membuat serial Lorong Gaib lebih dikagumi pemirsa. Setidaknya akan membuat acaraku itu mendapatkan 'rating' lebih tinggi lagi."

"Masih banyak bahan yang bisa kau liput untuk acaramu. Jangan kecewa," kata Kumala sambil memotong steak dengan pisau.

"Maksudmu, masih banyak korban seperti Ekey yang akan datang?"

"Keajaiban itu, maksudku. Bukan korbannya!" tegas Kumala.

"Kuharap sih jangan ada korban lagi seperti Ekey. Kasihan."

"Tapi bukankah setengah bulan yang lalu korban seperti itu sudah ada?"

Kumala menghentikan makannya. Menatap Niko dengan dahi berkerut heran. "Setengah bulan yang lalu?"

"Iya. Masa kamu belum tahu sih? Kayaknya aku udah telepon kamu dan memberitahukan kematian misterius itu deh."

"Ah, cewek lain kali yang kamu telepon. Bukan aku." Kumala berlagak sinis, memancing reaksi dengan
kecemburuan.

Ternyata Niko jadi ketakutan dan ngotot keras bahwa ia memberitahukan kasus itu kepada Kumala, bukan kepada cewek lain.
Sikap Niko yang takut dicurigai selingkuh dengan cewek lain membuat hati Kumala berdesir girang. Itu tandanya belum ada gadis lain yang menyelinap di relung hati
Niko, selain dirinya sendiri.

"Iya deh, aku yang kamu telepon. Cuma karena aku kelewat sibuk, jadi kurang memperhatikan kabar darimu itu. Sorry, ya. Jangan marah, ya!"

Kumala sengaja menggoda dengan lagak mirip gadis murahan. Ia hanya ingin memancing tawanya Niko, agar kecemburuan hilang dari ketampanan yang diam-diam dikagumi itu. Niko benar-benar tertawa walau ditahan kuat-kuat. Tidak mau tampak terang-terangan merasa geli oleh lagak Kumala.
Tapi hal itu membuat Kumala pun merasa lega. Bagaimanapun juga Kumala tidak ingin membuat Niko kecewa secara serius, karena pemuda itu sering dijadikan buah khayalan dalam lamunannya. Terutama sejak Niko berhasil menyelamatkan kehancuran Dewi Ular dari pertarungan melawan Nini.

"Sekitar dua minggu yang lalu, seorang moderator dalam sebuah seminar, tiba-tiba tewas dalam keadaan kering, biru legam seperti habis dicekik setan. Moderator itu tewas di tempat, ketika ia sedang bicara di depan peserta seminar.
Penyebab kematian masih belum diketahui sampai sekarang."

"O, ya... aku baru ingat. Korban adalah seorang dokter spesialis penyakit dalam, bukan? Aku lupa namanya."

"Ya, benar. Padahal dia dalam keadaan sehat. Boleh dibilang tidak punya penyakit apa pun. Tapi toh dia tewas begitu saja seperti kehilangan seluruh darahnya!"

Kumala menatap sambil manggut-manggut, namun juga sambil mengunyah makanannya. Sikapnya itu menandakan bahwa ia sangat antusias terhadap apa yang sedang dibicarakan Niko.

"Kurang dari seminggu kemudian," sambung Niko. "Peristiwa seperti itu terjadi lagi secara mengejutkan massa. Bahkan terjadinya dalam ruang sidang, ketika hakim wanita itu membacakan keputusan pengadilan belum habis, tahu-tahu ia jatuh terpuruk. Orang menyangka hakim wanita itu pingsan, tapi ternyata justru pingsan selama-lamanya alias mati."

"Ya, ya... aku ingat juga. Pramuda yang menceritakan hal itu padaku. Tapi waktu itu aku sedang mau berangkat ke Batam, jadi nggak sempat menangani kasus tersebut."

"Ya, aku tahu waktu itu kau sibuk dengan urusan bisnismu di Batam. Tapi yang menjadi catatan dalam ingatanku adalah, hakim wanita itu tewas dalam keadaan sama seperti korban sebelumnya, kulitnya kering, banyak bagian yang membiru,
kesannya seperti raga yang sudah keropos atau usang. Tanpa darah yang tersisa dalam tubuhnya."

Kumala manggut-manggut menghabiskan makanan yang dikunyahnya. Niko menyuap makanannya lagi ke mulutnya.

"Kalau begitu," kata Kumala setelah mulutnya kosong. "Kematian itu bukan kematian yang wajar. Bukan karena penyakit. Tapi kematian yang sama seperti yang dialami Ekey. Mungkin juga di kening kedua korban terdapat lubang kecil yang tidak bisa dilihat oleh mata manusia biasa."

****

48.  Perempuan Penghisap Darah✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang