00. PROLOG

489 60 139
                                    

Luna adalah wanita sempurna yang selalu kuharapkan menjadi ibu dari anak-anakku nanti. Gadis jawa paling cantik di mataku saat itu.

Kami saling mengenal sejak di bangku SMA, menjemputnya dengan motorku dan mengantarnya ke rumah menjadi hal paling membahagiakan selama masa sekolah. Aku lahir dan besar di sekitar kawasan Parangtritis, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah. Pemuda desa sederhana yang haus akan cinta. Tak ada hal lain lagi. Ibuku meninggal semasa aku kelas dua SMA, akibat sakit keras setelah tahu ayahku berselingkuh dengan adik iparnya sendiri. Aku membenci ayahku dan perselingkuhan sejak saat itu.

Aku sangat tulus mencintai Luna, dia seolah jadi satu-satunya pengganti sosok ibuku, memberiku cinta kasih juga perhatian tak terhingga, bersamanya membuatku merasa bangga jadi lelaki yang berharga. Dia menjadikan hidupku lengkap indahnya bagai surga.

Setelah sama-sama lulus sekolah, Luna memilih bekerja dan aku sendiri melanjutkan sekolah ke bangku kuliah sesuai keinginan ayahku, tentunya setelah aku menolak masuk Akademi Kepolisian. Aku mengantar Luna bekerja dan menjemputnya, persis sama seperti dua tahun lalu, saat kami masih berpacaran pada masa SMA. Tidak ada yang berubah di antara kami, cintaku pada Luna yang tulus, hubungan kami yang masih terus, bahkan bau parfum yang selalu Luna pakai semanis citrus.

Aku hafal segala hal tentang Luna karena sesuka itulah aku padanya. Termasuk sisi buruknya yang punya tabiat selalu berbohong dan mengkhianatiku.

Kukira itu hanya karena perasaan bosan terus bersamaku, aku memakluminya. Untuk beberapa alasan, aku justru dibutakan oleh cinta.

Luna berubah.

Manusia memang pada dasarnya mudah berubah. Entahlah, tapi aku sendiri kurang paham soal itu.

Dia melakukan hal yang sangat aku benci, perselingkuhan.

Aku tidak peduli siapa lelaki itu, aku hanya peduli pada Luna dan perasaanku untuknya.

Aku melakukan sebuah kesalahan besar dengan langkah yang gegabah. Kami menikah. Hanya karena aku takut kehilangan Luna. Ego besarku membawa pada kehancuran luar biasa.

Dan sekarang apa?

Bukan hanya aku yang kehilangan Luna.
Putriku, Arshinta juga kehilangan ibunya.

Aku meneguk segelas aperol yang sudah dituangkan teman baikku. Rumah yang selalu kutuju saat ingin menceritakan suatu masalah hidup yang berat tanpa sepengetahuan kakakku.

Warna alkohol yang oranye terang seolah menyalakan masa kelamku, aku tersenyum kecut. Rasa getir, manis, dan pahit alkohol menginvasi lidah. Mulutku butuh sebatang rokok, camel ungu cocok untuk melanjutkan omong kosong ini.

𝐑𝐚𝐢𝐧𝐛𝐨𝐰 𝐚𝐟𝐭𝐞𝐫 𝐑𝐚𝐢𝐧Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang