02. HILANG ARAH

372 51 138
                                    

Happy Reading! 🥰❤

Entah hari keberapa. Kira-kira dua bulan lamanya sudah berlalu, setelah Luna pergi membawa putri kami. Aku seperti nahkoda tanpa kompas, google maps tanpa sinyal, dan serangga tanpa antena. Hilang arah tujuan, bertanya-tanya kenapa aku harus terus hidup.

Malam dan siang terasa sama saja bagiku. Hanya botol alkohol dan rokok yang menemaniku dalam masa-masa sulit ini. Untungnya, Kak Hana selalu mengunjungiku, membawakan makanan, mencucikan pakaianku, memastikanku tetap mandi, dan masih hidup. Setidaknya, tidak melakukan hal-hal berbahaya. Kalau ada kata yang lebih dari terima kasih, mungkin sudah lama kuucapkan untuk Kak Hana.

Aku mabuk di malam hari dan tidur di siang hari, seperti seorang pecundang. Mengurung diri di dalam kamar, terkadang pergi ke bar atau berjalan dengan tatapan kosong. Mirip orang hampir gila. Dua bulan, yah. Kira-kira selama itu sampai aku mampu berdamai dengan keadaan. Mengajukan surat cerai ke pengadilan. Padahal di agamaku sendiri, perceraian itu hal yang sangat di larang. Lalu apa? Aku tak pernah memaafkan perselingkuhan. Dan sangat membencinya.

Malam ke sekian, saat Kak Hana mengunjungiku. Kak Hana bisa mengunjungiku sehari dua atau tiga kali. Meskipun tidak terlalu banyak bicara, aku tahu Kak Hana prihatin pada nasib adiknya yang malang. Siapa yang tidak sedih kehilangan wanita yang sangat dicintainya. Kak Hana adalah orang paling mengerti perasaanku pada Luna. Aku berbaring di kasurku, kala Kak Hana masuk.

"Kau tidak ingin mencari kesibukan, Rain?" Lirih suara Kak Hana menanyakan hal itu sambil duduk di sampingku, "Mas Niko tadi pagi bilang kalau di PHK dari pabrik tempatnya bekerja." Suami Kak Hana adalah buruh pabrik, rumah tangga mereka sangat damai. Aku iri. Pandemi Covid memang membuat sebagian pabrik melakukan PHK masal. "Mungkin kamu bisa bantu Mas Niko ngantar pesanan makanan." Kak Hana mau coba bisnis catering. Masa-masa sulit seperti sekarang membuat banyak orang memutar otak untuk tetap bertahan hidup.

Aku masih diam tak bergeming, Kak Hana tahu aku juga tidak akan banyak merespon. "Ya sudah. Kalau tertarik, besok datang saja ke rumah." Suara engsel pintu kamar ditutup. Bau makanan di samping kasur tercium.

Aku bangun, menoleh ke meja kecil samping tempat tidurku. Aku juga harus makan untuk tetap hidup. Aku sangat menyukai makanan buatan Kak Hana, rasanya sama persis seperti masakan buatan ibu. Suapan pertama.

Ibu, aku sungguh rindu.

Aku melihat keluar jendela, gerimis. Dingin menyeruak memenuhi ruangan. Rumah ini dibeli ayah sebagai hadiah pernikahanku dengan Luna. Keluargaku pindah dari Parangtritis ke kawasan Matrijeron setelah ayah memutuskan untuk berbisnis. Meninggalkan rumah lamanya di daerah pedesaan dekat pantai setelah aku lulus SMA, kakak tinggal bersama suaminya pasca menikah.

Luna, setelah pergimu.
Beberapa bulan berlalu, rumah ini terasa sangat kosong.
Aku mulai merindukan hal-hal kecil.
Keluhan-kesahmu saat banyak kebutuhan dapur habis.
Tangisan Arshinta.
Juga suara marahmu ketika aku salah membelikan jenis popok di supermarket.
Semuanya seolah hilang ditelan badai.

Perselingkuhan sialan! Aku masih ingat saat mempergoki ayahku sendiri main serong dengan bibiku di kamar ibu. Aku masih kelas tiga SMP waktu itu. Aku panik mengadu pada kakak, tapi respon kakak bilang sudah tahu. Kakak memilih untuk tidak mengadukan pada siapapun, termasuk ibu. Mengaja aib itu tetap rapat terbungkus. Tapi bau bangkai, mau disimpan serapat apapun juga pasti ketahuan. Ibu jatuh sakit setelah tahu ayahku selingkuh dengan adik kandungnya. Dan meninggal tak lama setelahnya. Aku terus mengutuk ayahku atas apa yang terjadi pada ibuku.

Aku masih kelas satu SMA dan sudah menjadi Piatu. Orang-orang menangis melihat jasad ibuku di peti mati. Usai pemakaman, aku mengurung diri di kamar dan menangis seharian. Persis seperti sekarang. Aku hanya punya Luna pada masa-masa sulit itu. Pundaknya adalah tempatku bersandar.

𝐑𝐚𝐢𝐧𝐛𝐨𝐰 𝐚𝐟𝐭𝐞𝐫 𝐑𝐚𝐢𝐧Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang