Di episode ini, mungkin gaya yang paling cocok sama Om Rain kayak begini deh :
Happy Reading! 🥰❤
Mbak Ayu meletakkan segelas kopi hitam pahit di atas meja kerjaku, "Loh, Mas Rain udah mau balik? Kok cepet tenan." Tidak biasanya aku hanya mampir sebentar dan langsung buru-buru pergi di jam segini tanpa ada alasan. Sudah hampir akhir bulan, aku memeriksa pemasukan dan pengeluaran vila untuk melakukan anggaran guna menggaji karyawan. Laporan yang harusnya sudah aku selesaikan dan mendapat persetujuan Mbak Indah.Semua masih terbengkalai. Kertas-kertas itu menumpuk semua di atas meja, Mbak Ayu memincingkan mata. Masih bergelut dengan pertanyaan yang belum juga kujawab. Entah berhubungan dengan kopi juga, kalau memang pergi. Seharusnya kopi itu tidak disajikan.
"Saya mau ke sekolah Arshinta dulu, Mbak. Gak tau balik atau enggak. Kopinya kasih aja ke Kang Slamet atau orang lain yang jaga. Ngapunten (mohon maaf)." Aku menyambar jaket denim milik mendiang ayahku yang tergeletak di gantungan sudut ruangan. Menguncir rambutku yang sudah mulai memanjang dan memakai topi navy senada dengan kaos, serta celana yang kupakai hari ini.
Mbak Ayu tak ingin banyak bertanya lagi, sudah terbungkam dengan ekspresi dan gerakanku yang sangat terburu-buru. Aku mengambil kunci mobil, tak sempat menatap Mbak Ayu. Di pikiranku sudah terbayang wajah mungil Arshinta yang terluka habis dipukul temannya atau mungkin bagian lain, guru itu bilang putriku berkelahi dengan temannya. ASTAGA! Dari mana dia belajar memukul? Aku tak pernah mengajarinya begitu. Siapa? Kak Hana? Tak mungkin juga wanita selembut Kak Hana mengajari anakku yang tidak-tidak. Noah menjadi tersangka utama kali ini.
Aku benar-benar tidak fokus menyetir dan hampir menabrak penyeberang jalan. Sungguh, aku hanya ingin segera sampai sekolah dan memeluk Arshinta. Waktu perjalanan yang tidak sampai tiga puluh menit itu terasa laksana puluhan tahun lamanya, akibat kecemasanku yang sangat berlebihan.
Gerbang sekolah Arshinta terlihat, aku memarkir mobil di halaman sekolah yang sebagian difungsikan sebagai taman bermain untuk anak-anak. Kantor sekolah Arshinta ada di ruangan pojok gedung. Langkahku sangat berat, tapi kupaksa berlari terburu-buru. Saat pintu kubuka, aku bersiap menarik napas berat dengan segala kemungkinan resiko terjadi.
"BAPAK!" teriak Arshinta yang semula duduk di sofa ruang kepala sekolah. Dia langsung memelukku yang berjongkok untuk menyambut, aku memeriksa dengan teliti wajah mungilnya. Menelakupkan kedua tanganku pada pipi chubby menggemaskan itu. Syukurlah! Puji Tuhan, putriku baik-baik saja.
"Mana yang sakit, Sayang? Mana yang dipukul? Ada yang luka, tidak?" Aku menghujani putriku dengan banyak pertanyaan yang penuh kekhawatiran. Bagaimana tidak? Aku hanya duda kesepian yang berusaha membesakan putri sematawayang ini sendirian dan memastikannya tidak kekurangan kasih sayang. Dia menggeleng pelan, aku memeluknya lagi.
"Silahkan duduk, Pak Ra-in?" Bu Guru yang berwajah paruh baya itu agak tersedat mengeja namaku untuk memastikan kebenaran pengucapan suku katanya.
Aku menggendong putriku, dia sepertinya sangat ketakutan hingga tidak mampu melepaskan pelukannya. Tidak masalah. Ayahmu sudah datang, aku akan melindungimu, Sayang. Aku duduk di kursi, berusaha menata posisi yang nyaman sambil memangku Arshinta. Pandanganku sekarang sempat mengedar, setelah memastikan putriku baik-baik saja. Hatiku sangat lega.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐑𝐚𝐢𝐧𝐛𝐨𝐰 𝐚𝐟𝐭𝐞𝐫 𝐑𝐚𝐢𝐧
Fiction généraleOrang bilang, Ayah adalah cinta pertama bagi anak perempuannya dan pahlawan nomer satu untuk anak laki-lakinya. Aku membenci ayahku sama seperti aku membenci perselingkuhan itu sendiri. Perselingkuhan membuatku kehilangan ibuku dan putriku kehilan...