17. MANULA, TUNA WISMA, DAN NANDA

118 23 127
                                    

Happy Reading! 🥰❤



Aku melihat orang tua itu dari atas sampai bawah begitu Mbak Ayu mengantarkannya masuk ke ruanganku. Mungkin pandanganku yang terlalu menilik penampilannya membuat sosok manula yang berdiri beberapa meter di depanku cukup mengintimidasi presensinya. Ruangan AC yang tertutup membuat daya penciumanku yang peka bisa menangkap aroma tubuhnya yang kecut keringat. Cukup tidak nyaman, seharusnya orang itu tahu agar mandi terlebih dahulu sebelum wawancara kemari.

Baju yang compang-camping dan tampilan dekil kumuh. Terus menunduk sambil sesekali melihat isi ruanganku.

"Bapak bawa surat lamaran?" tanyaku, tidak berharap banyak dengan sepuh ini.

Buru-buru ia merogoh saku celananya yang lusuh. Selembar kertas lamaran yang sudah lecek, entah terkena apa. Aku menerimanya karena menghargai usaha orang tua itu. Surat lamaran yang kuterima bahkan bukan Curriculum Vitae rapi dalam map coklat seperti calon karyawan resmi lain yang penuh niatan hendak melamar kemari. Aku tidak berharap banyak pada orang tua ini, sungguh. Tapi aku sudah putus asa untuk menerima orang ini.

Aku membaca sekilas selembar kertas yang ditulis tangan itu.

"Tolong terima saya, Pak." Wajahnya terlihat sangat melas. "Saya butuh uang, saya punya banyak anak dan hutang menumpuk."

Aku tersenyum kecut, "Saya pertimbangkan dulu. Anda punya pengalaman bekerja di vila atau hotel?" Dia menggeleng. Aku tak bisa menerima pekerja sembarangan hanya karena kasihan. Di sini banyak barang-barang mewah dan mahal, kalau menerima pencuri, salah-salah semua barang-barang vila bisa hilang.

Orang tua itu pergi berlalu dari pintu ruangaku setelah terus memohon agar diterima bekerja di sini. Mbak Ayu membawa orang tua itu keluar. Aku meremas poni. Astaga, merepotkan sekali.

"Berapa orang yang mau wawancara, Mbak Ayu?" Mbak Ayu menyuguhkan camilan ke ruanganku, gerakannya terhenti setelah aku tanya. Berusaha mengingat.

"Hanya dua, Mas Rain." Tadi baru satu. Masih ada satu orang lagi.

"Datang pagi ini juga?"

"Kurang tahu, Mas." Mbak Ayu berlalu pergi. Baiklah aku mungkin harus menunggu sedikit lebih lama.

Aku menghabiskan waktu dengan berkeliling vila, memeriksa pekerjaan para staf dan melakukan yang perlu. Ada banyak pekerjaan yang belum selesai, apa mereka selalu harus diberi tahu dahulu? Menyebalkan. Aku bahkan tidak melihat Dimas atau Aldo sama sekali. Mereka yang piket hari ini, punya tanggung jawab, tapi selalu hilang saat dibutuhkan.

Kolam renang Vila Bumi lumayan kotor, harus disedot endapan di bawah air kolam itu. Biru warna dasarnya yang tertutup keruh kotoran tanah terlihat sangat menganggu mata. Dimas kebetulan lewat saat aku memeriksa keadaan kolam di salah satu bangunan vila, "Ambilin alat sedot kolam di gudang, Dim." Aku menyuruh karena terlihat ia tidak punya pekerjaan dan hanya berkeliling saja.

"Inggih, Mas Rain." Sosoknya langsung pergi. Untung saja ia cekatan. Tubuh dempalnya datang dengan menenteng sebuah alat penyedot kolam. Aku bantu memasang selang dan mencolokkan ke listrik.

Maksudku ingin menunjukkan cara kerja alat ini pada Dimas, menjelaskan sambil mendemostrasikannya. Dia malah menguap. "Mas, tak beli rokok dulu ya? Nitip ta sampeyan? (Kamu mau nitip juga?)"

Rasanya aku ingin memaki Dimas dan bersumpah serapah, aku sedang mengajarinya agar bisa membersihkan dasar kolam secara mandiri. Dia malah berlalu pergi untuk membeli rokok. Aku manager di sini! BUKAN BABU! Sayangnya, aku hanya berani memaki dalam hati dan membiarkan Dimas pergi. Sudahlah. Aku malas ribut.

𝐑𝐚𝐢𝐧𝐛𝐨𝐰 𝐚𝐟𝐭𝐞𝐫 𝐑𝐚𝐢𝐧Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang