13. PUTUS

146 34 122
                                    

Happy Reading! 🥰❤


Aku pernah sekali membaca. Manusia mengenal tiga bentuk cinta sepanjang hidupnya, cinta pertama yang disebut first love. Cinta yang penuh dengan kepolosan, asmara pertama kali yang membangkitkan gairah di masa muda. Mungkin dalam hidupku, first love yang sudah kupunya adalah Janeta. Kemudian, cinta yang penuh perjuangan, cinta yang begitu penuh obsesi dan ambisi dengan gairah yang berapi-api, cinta yang kau pupuk bersamanya membuatmu merasa lengkap dan dewasa, cinta yang sangat ingin kau perjuangkan dengan berani mempertaruhkan banyak hal dalam hidupmu. Cinta jenis ini, disebut sebagai hard love. Dalam hidupku, Luna adalah bentuk hard love itu.

Konsekuensi dari hard love adalah saat kau pikir dia akan memberikan kesempurnaan dalam hidupmu, kala dia pergi, dia justru mampu memberikan luka yang sangat mendalam, menyesalan terbesar, dan seolah merenggut sebagian jiwamu yang punya gairah cinta itu sendiri. Sisi baik dari hard love adalah dia memberikan sebuah pelajaran hidup, pengalaman mencintai yang berharga. Membuatmu menyadari pentingnya sebuah hubungan, hal yang pertama dilakukan adalah mencintai diri sendiri dahulu. Memahami bahwa terlalu mencintai seseorang juga akan berakibat tidak baik. Hard love menjadi pintu gerbang menuju kepada fase diri lain yang baru.

Setelah mendapatkan hard love, biasanya manusia tidak akan tertarik dengan cinta lagi. Mulai menata hidup lebih stabil dan menyadari kebutuhan-kebutuhan mendasar untuk diri sendiri, sehingga tidak memilih cinta hanya berdasarkan keinginan semata. Maka, bentuk cinta jenis ketiga itu akan muncul. Cinta yang datang saat kau tidak mengharapkan adanya cinta lagi. Cinta yang meruntuhkan segala bentuk pendirian hatimu, cinta itu adalah unconditional love. Seperti namanya, cinta itu benar-benar datang di saat yang tidak terduga. Saat hatimu sudah berdamai dengan semua perasaan menyakitkan itu.

Dan kupikir, Nayla adalah jenis cinta ketiga dalam hidupku.

Tak terasa, sudah jam sebelas malam. Satu jam lagi menuju tengah malam, jalanan ini masih ramai. Seolah enggan punya jam tidur dan terus berdebat dengan malam.

Ada sepasang orang tua, suaminya buta. Dituntun sang istri untuk berjalan. Aku kagum, dia istri sangat setia yang mau mendampingi suaminya meski dalam kondisi menyedihkan seperti itu. Mereka lewat dan berhenti di dekatku. Dari papan kertas yang mereka bawa, aku bisa tahu mereka adalah tukang pijat keliling yang biasa ada di Jalan Malioboro.

"Pijet, Mas?" tawar nenek tua itu ramah.

"Inggih," jawabku. Aku menyerah dan kasihan melihat mereka berdua sudah setua ini masih saja mencari nafkah, dimana anak-anak mereka? Bukankah di masa tua, harusnya kedua orang ini menikmati hidup damai bersama cucu?

Nenek itu membawa kursi plastik kecil, dia duduk di dekatku dan suaminya yang buta mulai memijat bahuku. Aku mempersilahkannya duduk di sebelahku. Toh, bangku ini memang terlalu luas bila aku duduki sendirian. Tarif yang mereka patok juga sesuai kantongku, tak masalah jika aku menghabiskan satu atau dua jam menikmati ototku dilunakkan dengan pijat seadanya dari kakek tua ini.

"Pun dangu mijet, Mbah? (Sudah lama jadi tukang pijat, Kakek?)" tanyaku pada kakek ini, tapi hanya respon bisu yang kudapat.

"Si Mbah gak patek kerungu, Le. Suwine mijet yo suwi, tapi nang Malioboro sek tas. Enek lek rong tahun. (Si Kakek tidak terlalu bisa mendengar, Nak. Kalau lama kerja tukang pijat ya sudah lama, tapi di Malioboro masih baru. Ada kalau dua tahunan.)" Nenek yang menjawab pertanyaanku. Sekarang aku mengerti kenapa mereka bekerja berdua, karena keterbatasan pengelihatan dan pendengaran suaminya.

"Dereng mantok lanopo? Sampun dalu kok tasek keliling. (Kenapa belum pulang? Kok masih keliling.)" Aku bertanya karena penasaran, ini sudah jam sebelas malam, tapi dua orang tua seperti mereka masih mencari pelanggan.

𝐑𝐚𝐢𝐧𝐛𝐨𝐰 𝐚𝐟𝐭𝐞𝐫 𝐑𝐚𝐢𝐧Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang