prolog

49.5K 500 5
                                    

Sinar matahari sore yang lembut menembus celah-celah tirai, menciptakan suasana yang hangat di ruang tamu. Ibu yang duduk di kursi empuk sebelah jendela, memandangku dengan senyum yang penuh kelembutan, sementara bapak duduk di kursi kayu dengan tangan terlipat, matanya menyiratkan kasih sayang yang dalam. Suasana rumah yang terasa penuh dengan cinta dan perhatian ini menjadi tempat yang nyaman, meski ada sesuatu yang menggantung di udara, sebuah pertanyaan yang tak pernah terucap secara langsung, namun selalu terasa.

Nduk, mumpung masih ada bapak, ibu, kapan kamu mau nyusul masmu?” Suara ibu terdengar begitu lembut, penuh harap, seakan ingin bertanya tanpa menambah beban. Suaranya yang lembut itu, bagai sentuhan angin sepoi yang menenangkan, namun aku bisa merasakan ada kekhawatiran yang terselip di balik setiap kata yang keluar. Kekhawatiran seorang ibu yang ingin anaknya bahagia, melihat anaknya bisa menyusuri jalan hidup yang sudah dilalui orang-orang terdekat.
Bapak kemudian ikut menambah, “Rin, kapan menyusul teman-temanmu nduk?” Senyum beliau tak pernah lepas dari bibirnya, hangat dan penuh perhatian, meskipun matanya menyiratkan harapan yang dalam, berharap anaknya segera menemukan bahagianya. Aku bisa merasakan bahwa ini bukan hanya sekadar pertanyaan biasa, ini adalah bentuk cinta mereka, sebuah perhatian yang tulus agar aku bisa mengikuti jejak teman-teman sebayaku, yang sudah berkeluarga dan memiliki anak.

Nduk, bapak sama ibu pingin kamu cepet punya suami, kayak temen-temenmu itu yang udah pada punya anak. Kita juga pingin gendong cucu dari kamu,” kata ibu, dengan suara yang bergetar pelan, seolah ada kerinduan yang mengendap di dalam hati, kerinduan yang tak bisa mereka sembunyikan lagi. Itu adalah harapan yang tulus, sebuah impian untuk melihat aku melangkah ke jenjang yang sama, menjadi bagian dari dunia keluarga yang penuh kebahagiaan.

Mereka tidak pernah lelah bertanya, hampir setiap kali kami bertemu, di setiap kesempatan yang ada, tak peduli di mana kami berada, pertanyaan itu selalu muncul. “Kapan nikah? Kapan nikah?” Begitulah suara mereka, mengalun lembut di telingaku, meskipun kadang terasa membebani. Aku bisa memahami sepenuhnya, betapa besar harapan mereka, betapa kuatnya keinginan mereka untuk melihat aku menjalani hidup yang penuh kebahagiaan seperti yang mereka impikan.

Memang, di desaku, hal itu bukanlah hal yang aneh. Hampir setiap perempuan yang menginjak usia 20 sudah melangkah ke jenjang pernikahan, membangun keluarga, dan mempunyai anak. Sementara aku, yang baru berusia 22 tahun, terus menjadi pusat perhatian mereka, terus-menerus dipertanyakan soal kapan aku akan menikah. Wajah mereka penuh harapan, namun di balik itu ada rasa khawatir yang terselip. Kadang, pertanyaan itu membuatku lelah, tidak hanya fisik, tapi juga batin. Mengapa setiap langkahku seolah harus mengikuti standar yang sudah ditentukan oleh banyak orang? Mengapa harus ada ketergesaan, meski aku sendiri merasa bahwa jalan hidupku masih panjang dan aku ingin menyiapkan diri sebaik mungkin.

Sebenarnya, aku belum menikah bukan karena aku tidak menginginkannya. Hanya saja, aku ingin mengejar cita-citaku terlebih dahulu. Setelah berjuang keras menyelesaikan kuliah, aku merasa perlu memberi ruang bagi diriku untuk berkembang, untuk mewujudkan impian-impian yang sudah lama terpendam. Selain itu, jujur saja, aku juga belum bertemu dengan orang yang tepat, seseorang yang bisa aku ajak menjalani hidup bersama dengan penuh keyakinan dan cinta. Memang, ada kalanya rasa rindu untuk berbagi hidup dengan seseorang itu muncul, namun aku percaya bahwa segala sesuatu akan datang pada waktunya, ketika semuanya sudah siap, ketika aku sudah siap.

Jadi, meski pertanyaan mereka sering datang seperti angin yang tak henti berhembus, aku tahu bahwa itu adalah bentuk perhatian yang tulus, ungkapan kasih sayang yang tak terbatas. Dan aku juga tahu, bahwa pada akhirnya, aku akan menemukan jalan hidupku sendiri, dengan penuh cinta, kesabaran, dan tentunya dengan orang yang tepat yang akan menemani langkahku.

Dan begitu hari itu berakhir, aku menyadari sesuatu yang sangat penting—hidup memang penuh kejutan! Tak ada yang tahu bagaimana kisah kita akan berakhir, dan itu yang membuat setiap detik terasa seru. Dengan senyum lebar di wajah, aku melangkah keluar dari rumah, siap menghadapi petualangan baru yang menanti. Entah apa yang akan datang, aku tahu satu hal pasti: hidup ini penuh warna, penuh tawa, dan yang paling penting, penuh cinta. Jadi, biarkan dunia berputar dengan caranya, karena aku siap untuk menjalani cerita ini dengan sepenuh hati.

^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

Siap-siap, dunia! Aku datang! ~ Ririn Hapsari

Hai!!! Terima kasih sudah membaca cerita ini sampai akhir! Semoga kalian suka dan terhibur ya! Jangan lupa untuk vote dan komen, author sangat senang membaca setiap pendapat kalian! Sampai jumpa di cerita-cerita seru berikutnya! Nantikan dan bersiaplah untuk petualangan baru!

Mas Hardi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang