Bab 5 - Taruhan

840 37 0
                                    

"Selamat pagi Giselle," ujar Akira yang disambut dengan delik kesal dari pemilik bulu mata lentik si empunya nama.

"Saya sedang tidak ingin berbasa-basi, Akira... " jawab Giselle memutar bola matanya.

Akira bersedekap dan menunggu lanjutan kalimat Giselle yang memang terdengar begitu hostil dan tidak bersahabat.

"Kamu tahu itu posisi yang saya incar sejak Mas Dirga resign!" seru gadis itu. Rasa kesalnya tidak dia coba tutupi, dan justru diperjelas dengan dentaman tumbler stainless steel-nya yang beradu dengan meja kerjanya yang kental dengan desain khas Skandinavia lewat potongan bersih dan fungsionalnya.

"Tentu saja saya nggak tahu soal itu," kilah Akira.

"Saya rasa itu urusan internal antara kamu dan Pak Hasan yang seharusnya kamu selesaikan internal dengan beliau, bukan gontok-gontokan begini sama saya," tandas Akira.

Giselle tahu itu. Tapi tetap saja dia merasa kesal serta kecewa. Satu orang yang bisa dia jadikan sebagai pelampiasan ya orang yang berada di depannya ini.

Berdiri menjulang dengan santai dan penuh percaya diri. Terlihat tidak pusing, justru beberapa kali melempar senyum tipis yang Giselle artikan sendiri sebagai bentuk ejekan langsung kepadanya.

"Berarti sekarang kamu tahu kan! Itu seharusnya posisi yang saya tempati selepas Mas Dirga resign!" desis Giselle.

Akira hanya mengedikkan bahunya.

"Tapi kenyataannya sekarang saya adalah superior kamu," ucapan santai Akira justru membuat Giselle semakin meradang.

Giselle sudah siap untuk menangkis ucapan tersebut, tapi refleks Akira lebih cepat. Karena dia segera menaikkan jari telunjuknya, mencoba menghentikan rentetan keluhan dari Giselle yang pasti akan terlontar dengan lantang.

"Begini saja Giselle ... bagaimana kalau kita bekerja sama dengan baik selama saya berada di sini?" ucap Akira dengan tenang, "saya bisa berdiskusi dengan Pak Hasan kelak untuk memberikanmu kebebasan untuk memimpin satu proyek besar yang nanti akan kita dapatkan, dan tentunya peningkatan bonus dari yang sebelumnya kamu dapatkan. Cukup adil, bukan?" Akira memberikan penawaran kepada Giselle yang tentu saja ditolak mentah-mentah karena Giselle sudah terlanjur keki dengan berita ini sejak tadi pagi.

Rasanya sulit sekali untuk berpikir rasional di tengah perasaannya yang terluka karena pengangkatan posisi partner diberikan kepada salah satu orang yang jelas-jelas ingin Giselle enyahkan dalam memorinya!

"Tidak! Saya tidak setuju dengan usulmu itu," Giselle menghampiri Akira dan berjalan mendekatinya, memapas jarak hingga mereka berhadapan langsung.

Akira menaikkan sebelah alisnya, melihat gestur menantang dari lawan bicaranya saat ini.

"Lalu? Apa maumu?" tantang Akira kembali.

"Dalam tiga bulan ini, saya bakal buktikan kalau memang saya yang layak untuk duduk di posisi tersebut. Ayo kita taruhan!" ucap Giselle yang membuat Akira langsung tersenyum lebar.

Lesung pipi di kedua pipinya tercetak jelas. Membuat Giselle sedikit terdistraksi karena keindahan yang tercipta lewat senyuman tersebut.

"Taruhan?" tanya Akira dengan nada lembut, yang entah kenapa justru membuat bulu di tengkuk Giselle meremang.

Giselle mengangguk tajam seraya berkata, "benar, taruhan. Berani tidak?" tantang Giselle sekali lagi.

Akira berdeham sejenak, lalu menatap Giselle dengan intensitas penuh.

"Coba katakan, apa taruhanmu, Giselle?" tanya atasan barunya tersebut, matanya menyiratkan pertanyaan yang menunggu untuk dijawab.

"Siapa yang bisa bawa proyek dengan nilai terbesar, dia yang pantas duduk di kursi partner," ucap Giselle dengan lantang.

Dia percaya jika dia bisa melakukannya.

Senyum tipis tersungging dari bibir lawan bicaranya tersebut. Membuat pikiran Giselle sempat melayang mengingat suatu malam yang begitu tak terlupakan tiga bulan lalu. Bibir itu sempat menggerayangi tubuhnya dan memberikan kenikmatan yang mampu melupakan rasa sakit hati karena mengetahui mantan pacarnya berselingkuh.

Sadar karena pikiran tersebut sangat tidak pantas untuk kembali diingat, apalagi kini posisi mereka adalah rekan kerja, Giselle kemudian menggelengkan kepalanya untuk mengenyahkan pikiran mesum tersebut.

"Jadi... kalau kamu bisa membawa nilai proyek yang lebih besar daripada proyek milikku, kamu ingin mendapatkan posisi partner ini?" tanya Akira memastikan sekali lagi.

Giselle mengangguk singkat, "benar." jawabnya.

"Bagaimana kalau ternyata proyekku yang justru lebih besar nilainya? What's on me?" Akira membalikkan kembali ucapan Giselle.

"Aku bersedia untuk menjadi bawahanmu seperti ini. Dan tidak akan mempertanyakan kompetensimu,"ujar Giselle yang disambut dengan semburan tawa tak percaya Akira.

"Itu saja?" tanyanya tak percaya.

"Mohon maaf Giselle, tapi tawaran itu tidak menarik bagiku," tambah Akira sambil mengedikkan bahunya.

Dia berjalan menuju sofa yang tersedia di sudut ruangan, membuat dirinya sendiri nyaman dan menyampirkan tas hitam Tumi yang dari tadi dia jinjing. Akira duduk sambil menyilangkan kakinya, dan menaruh lengan kanannya di bahu sofa.

Aura dominan terasa dalam gestur Akira, atasan barunya, dan mantan partner one night stand-nya tiga bulan lalu.

"Ayo kita duduk sejenak dan bicara dengan kepala dingin," ujarnya sambil menepuk sofa tunggal agar Giselle duduk bergabung dengannya.

Giselle enggan beranjak dan tetap bergeming di tempatnya berdiri. Matanya menatap tajam ke arah Akira, menyiratkan jika dia tidak akan terintimidasi oleh sang atasan.

"Ayolah, jangan keras kepala, kita bisa berbicara dengan lebih santai dan beradab, bukan?" Akira menelengkan kepalanya, menunggu Giselle luluh dan duduk bersamanya untuk berdiskusi lebih dalam lagi.

"Jangan bilang kalau kamu kikuk berada di dekatku seperti ini?" tanya Akira.

"Apa kamu tidak bisa melupakan malam itu?" Akira menambahkan ucapannya, dan dengan berani mengungkit hal tabu tersebut di sini.

Pertanyaan yang sontak membuat Giselle memberontak.

'Huh, enak saja! Siapa yang kikuk duduk dengan pria ini?'

Giselle akhirnya melangkah, suara sepatu hak tinggi tujuh cm dari Christian Louboutin berderap kencang di lantai marmer ruangannya.

Layaknya seorang tentara yang sedang melaju ke medan perang. 

 

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kursi Panas di KantorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang