AKIRA
Hari Minggu sore ini dia baru saja selesai berlatih Aikido bersama adiknya, Akito. Tubuhnya masih mengenakan aikido gi atau seragam Aikido berwarna putih dengan hakama, atau celana lebar berwarna hitam.
Jika dilihat-lihat, penampilannya dan adiknya kini persis seperti tokoh-tokoh manga yang sedang sibuk berlatih bela diri.
Sudah beberapa kali dia kena banting ketika berlatih bersama adiknya ini. Tapi tentu saja karena dia sudah lama berlatih Aikido dia bisa melakukannya tanpa membuat tubuhnya cedera.
"Akito, kulihat kamu semakin mahir dalam aikido, pasti semakin sering latihan, ya?" tanya Akira disela-sela nafasnya yang memburu.
Seni bela diri Aikido memang terlihat tidak seagresif bela diri dari Jepang lainnya, namun Akira senang berlatih karena begitu besar membantunya meregulasi emosi dan juga egonya. Mengedepankan cara nonkekerasan untuk menurunkan eskalasi masalah.
"Hmm ... tidak sesering dulu waktu SMA, Mas Akira. Tapi terkadang aku selingi dengan judo, jadi mungkin tekniknya jadi bisa lebih presisi." Akito menarik tangan Akira yang masih tiduran di lantai dojo yang terletak di dekat rumah mereka.
Akira menyambut tangan adiknya dan ikut bangkit.
Adiknya ini memang pencinta bela diri ternyata. Bahkan sempat-sempatnya berlatih judo juga hingga sampai memiliki sabuk hitam.
"Habis ini mau ke mana, Mas? Apa mau langsung kembali ke rumahmu? Lebih baik nanti saja, mama sudah siapkan makan malam," celetuk Akito sambil mengemasi barang mereka dan bersiap untuk kembali pulang.
Jarak dari dojo ke rumah mereka mungkin sekitar lima belas menit berjalan kaki. Perjalanan singkat ini membuat Akira bernostalgia saat masa remaja ketika dia giat berlatih bela diri di dojo. Pengalaman menyenangkan membuatnya tersenyum sepanjang dirinya dan Akito menyusuri jalan ini.
Mereka malas mandi di dojo, dan memilih untuk tetap memakai gi dan hakama, baru setelah sampai rumah mereka mandi.
Ketika keluar dojo, beberapa orang menoleh penasaran ke arah mereka. Dan tak jarang beberapa perempuan berhenti dan menoleh dua kali ke arah mereka. Sudah sering seperti ini, Akira tetap tidak nyaman.
Berbeda dengan adiknya yang secara terang-terangan melempar senyum ramah kepada perempuan yang menyapa mereka.
Memang si cassanova!
"Melipir dulu ke Morning Mist, deh. Kalau di rumah suka segan ngopi, mama suka nyap-nyap kalau liat gue nenggak kopi nanti," jawab Akira.
Akito nyengir lebar mendengar penuturan kakaknya tersebut.
"Ya terang aja mama ngomel, lo minum kopi kaya minum air putih aja sih, refill mulu!" Akito tertawa menanggapi ucapan Akira barusan.
"Gue pingin cepat-cepat lulus deh, biar bisa kerja. Gak sabar gue memulai hidup mandiri," tambah Akito di tengah perbincangan trivial mereka sepanjang menyusuri jalan.
"Nanti juga ada masanya. Dan terkadang hidup sendiri itu bikin kesepian, jadi lo akan sering kangen rumah," ujar Akira menimpali ucapan ringan mereka berdua yang kerap kali dilakukan semenjak mereka kecil sehabis berlatih.
Selesai berlatih, biasanya mereka suka melipir ke kedai kopi yang berada satu jalur dengan dojo mereka.
Morning Mist.
Kedai kopi kebanggaan kompleks perumahan ini.
Hasil kerja keras patungan teman dekat Akira yang tinggal di kompleks ini. Empat tahun lalu, kedai ini hanya seukuran warkop. Hingga kini dibedah menjadi sebuah kedai kopi estetik yang viral di kalangan anak muda. Bukan hanya karena rasanya yang tidak kalah dengan rasa kopi franchise terkenal, tapi karena harganya yang tentu saja tetap membumi.
Ketika pintu kedai dibuka, wangi kopi menyeruak dan menyapa indra penciuman Akira.
Sang barista yang merangkap sebagai pemilik kedai mendongak dan tersenyum lebar mendapati Akira serta Akito datang dan masuk ke dalam kedai ini.
"Hei bro! Lama ya nggak mampir ke sini!" sapa Leo, sang pemilik kedai dengan ramah kepada Akira.
Akira menghampiri Leo, dan memeluk singkat sahabat karibnya dari zaman mereka lari-larian di lapangan bola sekitar kompleks sejak TK.
"Duh, maaf banget, Leo! Emang baru sempat ke sini, agak sibuk belakangan ini," jawab Akira sambil menepuk pundak Leo dengan antusias.
"Mas Leo, pesananku dong yang biasa!" Di ujung kasir, Akito dengan antusias mengecek pastries yang terhidang di meja etalase.
"Siap, nanti dibawain ke mejamu. Duduk di mana?" tanya Leo sambil menyiapkan double ristretto untuk pesanan Akito.
Jenis pengekstrakan kopi namun dengan waktu yang lebih singkat dibanding espresso. Hasilnya tidak seberat espresso, dan itulah alasan Akito segera beralih memilih ristretto setelah tahu. Berbeda dengan Akira si penyuka espresso.
"Tempat biasa, Mas Leo," jawab Akito ringan.
Dia lalu beranjak dan membuka pintu geser yang menuju outdoor. Di ruang terbuka tersebut, banyak pepohonan hijau dan juga beberapa pot kecil berisi aneka bunga yang sedang bermekaran. Tempat ini memang asyik dijadikan tempat nongkrong sambil ngopi atau merokok.
"Gimana kerjaan lo sekarang, Akira? Gaya lo udah kayak eksmud aja!" canda Leo yang hanya ditanggapi santai oleh Akira.
"Ah, bisa aja lo!" Akira terkekeh geli.
"Gue sekarang udah kerja di tempat baru, nih! Mereka kasih tawaran yang menarik. Makanya gue setuju untuk pindah ke tempat ini." Sejurus kemudian Akira berkata lebih serius.
"Eh bentar, gue cari backup dulu. Biar kita bisa ngobrol lebih panjang." Usai mengatakan hal tersebut, Leo masuk ke dalam ruang karyawan sejenak.
Tak lama, satu anak muda datang dan bersiap menggantikan Leo untuk meracik pesanan serta berjaga sebagai kasir.
"Wah, sebenarnya nggak perlu repot-repot, gue cuma mau mampir aja, ngecek lo dan anak-anak lain." Akira jadi merasa sungkan karena mengganggu sahabatnya bekerja.
"Santai aja, lo juga udah jarang-jarang nih ngumpul ke sini!" balas Leo ramah.
Mereka berdua akhirnya berjalan menuju meja yang telah ditempati Akito di luar dan melebur bersama untuk bertukar cerita.
Leo menarik bungkus rokoknya dan mulai membakar satu batang. Menawarkan kepada kedua sohibnya. Akira menolak karena dia baru saja selesai latihan Aikido, sedangkan Akito menerabas saja, mengambil satu dan mulai membakar rokoknya.
"Gimana, Akira? coba dong update kehidupan lo? Kapan-kapan agendain deh ke Swordfish, clubbing bareng anak-anak lain." Akira meringis mendengar ajakan Leo.
"Duh, udah jompo gue! Udah nggak bisa ikutan clubbing gitu-gitu lagi," tepis Akira yang langsung dihadiahi semburan tawa dari Leo.
"Astaga, bro!" Leo menggelengkan kepalanya, terkekeh geli dengan balasan Akira.
"Lo ajak gue aja, Mas Leo. Gue sih masih kuat sampe jam tiga pagi!" Akito menyela percakapan mereka di tengah-tengah hisapan rokoknya.
"Lo fokus aja selesaikan kuliah!" Akira melirik tipis ke arah adiknya. Akito hanya nyengir ketika disentil seperti itu kepada kakaknya.
"Eh, by the way ... gue udah nggak pernah lihat lo bawa Andin lagi ke sini. Gimana hubungan lo sama dia? Masa kalian udah putus?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Kursi Panas di Kantor
ЧиклитBlurb: Giselle Putri Natapradja, gadis cantik ambisius - seorang konsultan senior yang mengidamkan posisi Partner yang sedang kosong di kantornya The Converge. Bosnya mengatakan jika posisi itu terbuka baik untuk para konsultan The Converge yang m...