4 || Kaivano Bersama Rea

96 57 24
                                    

Hayiii chingudeul~
Sebelum lanjut, boleh minta vote dan komennya? Gratis, kok, ga pake fee wkwk.

Enjoy, ya!^^
Happy Reading<3

🌷🌷🌷

Koridor tak terlalu sunyi, murid berserak masuk dari gerbang ke ruang kelas. Tidak jarang murid kelas dua belas menunggu di depan ruang ujian dengan tas mereka yang berada di gendongan lengkap bersama nametag dikalungkan.

Tampak antusias menyambut ujian akhir hari pertama, berbeda dengan Hali yang tak menyiapkan apa-apa semalam, bahkan ia baru memijakkan kaki di rumah selepas dari warung Mpok Nur pukul tiga pagi.

Tatapan sebagai pusat rasa takjub Hali terima pagi ini ketika kendaraan sport putih yang ia tunggang-tunggik melaju masuk area sekolah, Vespa miliknya masih dalam perbaikan.

Hali tak banyak tahu bahwa kaum hawa meletup rasa kagum dengannya, ia hanya mengerti jika hadirnya cukup dikenal lantaran seringnya meraih hasil dari kejuaraan voli. Tolong garis bawahi, Hali bukan tipe murid rakus nilai, kepopuleran tak menjadi alasan utama. Ia seperti murid nakal pada umumnya yang hampir seluruh pekerjaan rumah terkumpul tak tepat waktu, tetapi masih memiliki aturan.

Hali menyukai versi dirinya ini. Kedua orang tuanya pernah tamat belajar di sekolah serupa dengan Hali. Bu Egy yang sering disebut sebagai kepala sekolah dengan keperibadian seperti badai itu pernah mengatakan, Hali tak seperti salah satu orang tuanya yang terlampau sering mengangkat nama sekolah lantaran terus-menerus mencekal penghargaan hasil olimpiade.

Tak apa, tak masalah bagi Hali jika ia dibandingkan hanya karena sebuah hal yang berbeda. Itu wajar.

Terparkir motor berawak kolosal di bawah pohon serat berbulu putih yang tak lagi berbuah. Topi pelindung kepala dari bahan tahan benturan yang terpasang mulai ia lepas, meski tak segera dilakukan untuk beranjak dari motor. Kepala itu tertoleh tatkala sebuah tangan menyentuh pundak, sosok Kaivan bersama Kaivano hadir dari arah lawan muka—entah dari mana datangnya.

"Ngapain lo parkir di bawah pohon kapas?"

Satu jemari Kaivan menunjuk motor milik Kaivano yang terparkir di bawah langit-langit baja ringan bertiang bak payung. "Noh, di sana adem."

Hali turun dari motor, berdiri di samping Kaivano yang sedari tadi menyimak. "Enak di sini, lagian dedemit pohon kapas enggak bakal bisa bawa pergi motor gue."

"Buset! Songong banget lo kek soang, mentang-mentang motor ilang tinggal beli baru."

"Ngaca!" seru Hali. Kaivan merespons dengan tawa meledak, sontak membuat Si sulung Dharmendra tidak lain adalah Kaivano memutuskan untuk berjarak, tawa dari Sang adik membuat telinga berdengung.

"Dua menit lagi bel," kata Kaivano.

Hali dan Kaivan kompak saling pandang. "Lo belajar apa semalem?" tanya Hali.

"Geografi," jawab Kaivan.

"Berapa bab?"

"Semua."

"Kok ..." Hali menjeda kalimatnya, menelisik roman Kaivan yang tampak mencurigakan. Tidak mungkin kloningan dari Kaivano ini dapat menghabiskan seluruh bab satu malam, mengingat semalam mereka berada di lokasi yang sama.

"Gue baca semua bab yang ada di daftar isi, Gledekkk! Masih enggak percaya lo sama gue? Jahat, tahu!" Kaivan berucap dramatis pada kalimat terakhirnya, menunjukkan wajah sedih yang ia buat-buat—seolah menarik ingus, sehingga membuat Hali memalingkan wajah, jijik.

[#3] ETHEREAL || Sudah Terbit✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang