14 || Apa yang Terjadi?

57 42 12
                                    

Jangan lupa vote dan komennya~
Happy Reading<3

🌷🌷🌷

Terembus napas lega, sebuah alat dari logam masih terkait pada lubang kunci. Syukur satu-satu anak kunci tidak hilang, cukup teledor melupakan benda itu di sana. Lalu, bagaimana jika ....

Tergabas tangan membuka loker, mengacak benda-benda di dalam. Buku, almamater, topi, dan beberapa pena curian lengkap berada di sana, lagi-lagi beruntung benda-benda masih berada di tempat.

Satu hal yang membuat Hali kebingungan, ponsel lama miliknya berada di dalam, di atas tumpukan buku tulis. Tapi, sejak kapan? Maksud Hali, pagi itu benda pipih tak dijumpa keberadaannya.

"Ponsel lama gue, kok, di sini?" Hali meraih benda pipih yang tak menyala. Menilik segala sisi ponsel berada dalam genggamnya.

"Enggak ada lecet," monolog Hali, keheranan. "Kok bisa, sih, anjir?"

Dinyalakan gawai pada genggaman. Wallpaper ponsel yang sebelumnya mengenakan foto Wilfredo León—atlet voli yang diidolakan oleh Hali, kini berubah menjadi hitam polos. Kedua alis hendak bertabrakan, jemari kekar menari dari satu ikon ke ikon lain, tak menemukan apa-apa, berakhir pada galeri foto di dalam ponsel.

"Cakra," gumam Hali, ia geram.

"Brengsek! Gila, nih, cowok udah berani mainin Rea."

Jemari terus menggulir layar, galeri dipenuhi dengan foto-foto peristiwa baru yang sebelumnya tak pernah Hali ketahui, justru telah tersimpan rapi. Cakra sebagai lakon di dalam gambar rupanya banyak menabur luka untuk Rea. Tamparan, dorongan, pelecehan, dan beribu gambar tangisan Rea, dibidik dengan sempurna.

"Ternyata firasat gue benar, gue harus cari dia!"

🌷🌷🌷

"Berhenti lo, anjing!"

Perlahan laju Vespa putih mulai terhenti, mesin dimatikan dengan sesegera. Sang empu dengan pancar roman kebingungan turun dari kendaraan bak skuter lantaran di hadapan kedua pemuda menghalang jalan. Helm telur yang terkenakan diletakkan di atas tempat duduk berlapis busa. Tersapu resik satu demi satu tampang kedua pemuda dengan pendar tergemap.

"Kalian siapa?" tanya Hali.

Tiba-tiba, mata Hali terbelalak menahan rasa sakit kala tengkuk merasa tersambar dengan hantaman sebuah bongkot kayu. Hali terjerembap, kesadaran tak sepenuhnya hilang, indera pendengaran masih dapat menangkap suara tawa. Hali mengenal suara itu, suara Cakra.

Tersepak kasar wajah tampan Hali, mengharuskan kepala tertoleh kuat menyamping, ngilu ia terima dari kaki dibalut dengan sepatu tebal beralas karet. Kedua kali Hali mendapat perilaku sama, Cakra tak berhenti menendang wajahnya, mencipta lebam samar di tepi bibir dan wajah.

Cakra melipat lutut. Tersenyum mengejek. "Jangan sok jagoan," ucapnya.

"Rea itu pacar gue, tubuh dia berarti punya gue."

Cakra menyungging seringai. "Oh, apa lo juga mau? Kalau gitu, kita bisa nikmatin berdua."

Hali menatap marah. "Bb-berengsek!" Dengan posisi tersungkur, satu tangan terkepal, sekuat tenaga dilayangkan mengarah Cakra, tenaga yang nyaris hilang sontak membuat cowok berambut dominan dengan mudah mencengkeram kuat. Hali mendesis kesakitan.

"Tubuh Rea itu nikmat. Jangankan gue, teman-teman gue juga pengen."

"Jangan sentuh Rea, lagi!" Hali meraung, menarik tangan miliknya dari cengkeraman.

Bersusah payah Hali menegakkan tubuh, sesekali terhuyung lantaran raganya terlalu lemah. Hantaman yang diperoleh pada tengkuk membuat sebagian tubuh mati rasa. Pandangannya nyalang penuh api, satu tangan yang terkepal hendak melayang, justru kedua lengan dikunci oleh dua pemuda lainnya.

[#3] ETHEREAL || Sudah Terbit✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang