Akhirnya aku lulus. Mengenyam pendidikan selama tiga tahun di SMA. Tidak menyangka kalau aku bisa bertahan sampai saat ini.
Memakai toga wisuda, bersama mama yang sedang duduk melihatku dari atas panggung. Kami sedang bergantian naik panggung untuk di kalung kan medali. Dan sekarang giliran ku untuk naik.
Aku memutuskan untuk tidak pergi kuliah. Karena mama yang sudah tidak kuat lagi cari uang, kini aku harus menggantikannya.
Oh ya, kondisiku juga semakin membaik. Bahkan obatnya sudah dokter Hans turunkan dosisnya. Semoga aku bisa cepat sembuh dari penyakit ini.
Aku melangkah menuju bangku mama. Mencium tangannya lalu memeluknya. Duduk di sebelahnya dengan tangan yang mama genggam.
Aku sedang melihat Tari naik. Menyalami guru-guru. Lalu turun menghampiriku.
"Selamat Mey, kita sudah lulus." senyum riang melukis wajahnya.
"Iya, Tar selamat juga." aku membalasnya dengan tersenyum.
Apakah Sastra datang? Aku menyapu setiap sudut lapangan untuk mencarinya, saat ini aku sedang mengenakan dress yang waktu itu ia pakai.
Aku harap ia datang dan menunjukkannya. Tapi sepertinya tidak mungkin. Aku dengannya sudah lama tidak bertemu atau bahkan bertukar kabar.
"Kamu lagi nyari siapa?" Tari memecah perhatianku.
"Nggak ada Tar."
Apa dia sedang wisuda juga, ya? Dia juga satu angkatan denganku. Kalau benar, apa aku harus memberinya bunga? Ah tapi aku siapanya dia? Bahkan dia tidak datang ke sini.
Tenang Meyta, kamu kenapa? Tapi jujur saja, satu bulan ini aku sering memikirkan Sastra. Bagaimana kalau dia lupa dengan ku? Bagaimana kalau dia sudah pergi? Astaga Meyta, mikirnya jangan kemana-mana!
Aku membuang pikiran buruk yang seharusnya aku tidak pikirkan. Mungkin ia sedang sibuk dengan kegiatan nya. Nanti juga datang menemui ku, mungkin?
***
Cuaca diluar sedang mendung. Aku sedang duduk di halaman cafe bersama Tari. Menikmati secangkir kopi cappucino kesukaanku.
"Kamu kerja di mana?" Tari bertanya. Walaupun kami sudah lulus kami sering kali bertemu untuk sekedar mengobrol dan membicarakan kenangan menyenangkan semasa sekolah.
"Belum dapet, Tar."
"Tapi sudah ngelamar kan?" Tari menyeruput minuman yang ia pesan.
"Aku sudah melamar ke beberapa pabrik dan tempat makan, juga beberapa cafe, tapi belum juga ada panggilan." zaman sekarang susah sekali mencari kerja.
Dari kualifikasi yang tinggi sampai jobdesk yang terlalu menekan pegawai membuat pencari kerja.
"Nggak apa-apa, nanti juga bakal ada panggilan kok, sabar aja." katanya.
Aku tersenyum "Kamu kuliah dimana?"
"Aku di daftarkan ayahku Mey buat kuliah di luar negeri." Tari termasuk orang yang berkecukupan, ia bisa saja dengan mudah meminta ini itu dan apa saja yang ia butuhkan, walaupun begitu, aku sering menolak kebaikan-kebaikan yang Tari beri.
Seperti uang atau barang saat aku merasa butuh. Aku tidak mau dicap memanfaatkan teman.
"Wah, bagus dong." aku ikut senang.
"Tapi nanti aku nggak bisa ketemu kamu."
"Kita kan masih bisa ngobrol video call." pikiranku tiba-tiba saja buruk. Nanti, jika Tari pergi kuliah, aku pasti akan sendirian dan kesepian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tawanan Kata
Teen FictionAda hal yang harus kami terima bahwa hidup ini memang menyimpan banyak pertanyaan. Jutaan variabel yang masih belum terpecahkan menjadi akar dari kesalahpahaman. Satu bulan kemudian Sastra sembuh, menyatakan perasaannya sekali lagi padaku, dengan ka...