Sepulang dari rumah pohon, aku dan Sastra turun ke bawah. Ke rumah pak Nurdin untuk berpamitan pulang.
Hari sudah semakin sore dan pasti mama sedang menungguku di rumah sakit. Di mobil, kami tidak banyak berbicara. Sastra bertanya kepada ku apa yang sebenarnya terjadi. Aku masih belum bisa berkata apapun. Aku masih takut.
Masih butuh waktu untuk menceritakan semuanya.
Sastra paham apa yang aku rasakan. Ia tidak memaksaku untuk bercerita. Terlebih kami baru kenal. Sesampainya di rumah sakit. Aku tidak langsung turun, ada hal yang harus aku bicarakan pada Sastra.
"Aku harap, kamu nggak berpikir aneh soal aku tadi."
"Aku nggak pernah berpikir negatif tentang kamu. Waktu kita ketemu dengan nggak sengaja pun aku tahu, kamu pasti orang baik." kata Sastra.
"Itu cuma asumsi kamu saja, aku nggak sebaik itu."
"Ya sudah, itu kan memang asumsi ku, tapi biasanya aku nggak pernah salah menilai orang."
"Kuharap begitu." Aku turun dari mobil. Sastra menawari untuk mengantarku dan mama pulang tapi dengan tegas aku menolak.
Sastra ku suruh untuk pulang saja. Karena ia tidak pulang dari kemarin, menemaniku di rumah sakit merawat mama.
Entah akan seperti apa orang tuanya mengetahui anaknya tidak pulang. Mama sudah bersiap di atas ranjang untuk pulang. Sepertinya mama menungguku untuk pulang. Aku tersenyum, lantas berkata.
"Maaf ma nunggu lama, tadi ada sesuatu di sekolah, kita pulang sekarang, tadi kata dokter mama udah bisa pulang."
"Sastra mana, Mey?" mama celingak-celinguk kesana-kemari.
"Dia nggak kesini lagi ma, dia sudah pulang sepulang sekolah tadi."
Bohong! Aku tidak berangkat sekolah padahal.
"Seperti itu, padahal mama mau terima kasih lagi sama dia."
"Sudah ma, sudah Meyta wakil kan kok."
Mama tersenyum senang. Sepertinya mama menyukai Sastra. Maksudku, Sastra punya sikap yang ramah dan peka terhadap orang-orang disekitarnya.
Tidak seperti ku yang cuek dan kurang peduli.
***
Kami turun dari angkot. Aku menggandeng mama menuju rumah. Dengan jalan tertatih namun pasti, kami berjalan beriringan.
Sesaat sebelum sampai pintu rumah, aku melihat seseorang di sana sedang duduk. Perempuan berambut sebahu. Itu pasti Tari. Cuma dia yang punya rambut seperti itu.
Bagaimana ini. Bagaimana jika dia bilang kalau aku tidak masuk sekolah hari ini. Mama pasti kecewa kepadaku. Dengan segala kemungkinan yang terjadi, aku sudah siap menerimanya dan kini kami sudah sampai di depan rumah yang disambut Tari dengan senyuman.
"Tari?" aku memastikan.
"Iya Mey, ini aku." katanya.
Mama terlihat bingung "Ini tari yang waktu itu pernah ke rumah?"
"Iya ma, ini Tari yang waktu itu." Setelah aku memperkenalkannya. Tari mencium tangan mama.
"Apa kalian ada kerja kelompok?" tanya mama.
Aduh. Apa yang aku takutkan sepertinya akan terjadi.
"Tidak bu, Tari disini buat jenguk ibu. Katanya ibu sempat pingsan terus dilarikan ke rumah sakit." ujar Tari.
Aku sedikit terkejut. Bagaimana Tari bisa tahu mama sakit? Mama menoleh ke arahku. Karena tidak mau mama curiga, aku mengikuti jalan ceritanya.
"Iya ma, tadi di sekolah, Meyta cerita mama sakit. Tapi Meyta nggak tau Tari akan ke rumah." kataku sedikit terbata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tawanan Kata
Fiksi RemajaAda hal yang harus kami terima bahwa hidup ini memang menyimpan banyak pertanyaan. Jutaan variabel yang masih belum terpecahkan menjadi akar dari kesalahpahaman. Satu bulan kemudian Sastra sembuh, menyatakan perasaannya sekali lagi padaku, dengan ka...