Bab 7

5 1 0
                                    

Seminggu berlalu, acara perpisahan tinggal tiga hari lagi. Aku dan Panji sedang berada di aula, memperhatikan ketua pelaksana menerangkan rencana akhir setelah beberapa kali mengadakan pertemuan.

Aku satu tim dengan Panji dan Nadin. Kami bertugas untuk menyusun jalannya acara, waktu yang akan dihabiskan dan rangkaian acara lain kami yang kerjakan.

Lima belas menit kemudian. Rapat selesai. Kami disuruh untuk mengerjakan tugas masing-masing. Aku, Panji, dan Nadin belum keluar dari aula. Hanya kami bertiga disini. Berencana untuk menyusun susunan acara bersama.

"Maaf, Nadin kemarin buat rangkaian nya seperti ini." kata Nadin sembari menyerahkan beberapa lembar kertas.

Aku mengeceknya. Bagus. Itu lebih dari cukup untuk gambaran agar susunan dan waktunya lebih akurat.

"Tapi Nadin nggak bisa ikut ngerjain tugasnya sekarang."

Jadi maksud Nadin memberikan kertas-kertas ini karena dia tidak bisa hadir? Seperti itu?

"Nggak apa-apa kok, kamu pasti ada acara kan?" Panji ikut dalam pembicaraan.

"Kalau begitu, Nadin duluan, ya." ia pamit lantas menyandang tas yang terkapar di bawah lantai.

Aku masih memandang sampai punggungnya hilang di ujung pintu aula.

Nadin adalah salah satu anak paling sopan yang pernah aku kenal. Ia sering mengatakan tiga kata luar biasa yaitu maaf, tolong, dan terima kasih.

Sekarang sudah jarang sekali menemukan orang seperti itu. Kata-katanya sudah semakin modern sekarang. Seperti kata maaf yang berubah menjadi "baperan"

"Jadi kita berdua?" aku berkata.

"Mau bagaimana lagi? Nadin sedang ada acara."

Aku menghela nafas panjang, bukan karena tidak mau mengerjakan bersama Panji, hanya saja aku tidak terlalu dekat dengannya. Biarlah, dari sini mungkin kami akan semakin dekat.

"Mau mengerjakan dimana?" tanyaku.

"Rumahmu?"

"Nggak bisa, di rumahku mama belum pulang." aku tidak mau mendapat omongan buruk dari tetangga sekitar rumah.

"Yasudah, di rumahku saja kalau begitu. Ada bibi, sama pak satpam, jadi nggak akan ada yang berpikir aneh-aneh."

Aku mengangguk setuju.

Baru aku saja sepertinya yang diajak ke rumah Panji. Selama tiga tahun bersamanya di kelas yang sama. Teman-teman yang lain belum pernah ada yang mengunjungi rumah Panji atau bahkan diajak olehnya.

Tidak ada yang tahu mengapa, tapi aku ingin berpikir positif saja untuk sekarang.

Kami naik angkutan umum. Kali ini naik angkot warna hijau. Di perjalanan kami tidak banyak mengobrol. Hanya fokus melihat kedepan lantas bersiap untuk turun.

Belum sampai ternyata, kami masih harus jalan kaki ke dalam komplek rumah Panji. Aku tebak dia adalah anak orang kaya. Melihat dari banyaknya rumah besar dan bertingkat berjajar rapi.

Sampai di rumah paling ujung. Seorang laki-laki yang mengenakan pakaian serba hitam menyambutnya, membukakan pintu.

Pagar yang melingkari rumahnya begitu kokoh dan jangkung, Aku mengikuti Panji hingga ke dalam. 

"Bapak ada di rumah den." bisiknya kepada Panji.

"Nggak apa-apa."

Ada apa dengan ayah Panji? Aku baru pertama kali ke rumahnya. Seperti dugaan ku, rumahnya besar. Di cat dengan cat putih yang sangat elegan. Ada beberapa cat emas yang menghiasi.

Tawanan KataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang