"Maaf, maaf, saya nggak sengaja." kataku dengan sedikit takut.
Bagaimana aku tidak takut, aku yang salah karena terlalu terburu-buru.
"Jadi basah." itu kalimat yang aku dengar pertama kali dari mulutnya.
Segera aku mengambil sapu tangan di dalam tas untuk membantu mengeringkannya,
"Aduh maaf." dengan hati-hati ku membersihkan bajunya yang terkena es kelapa.
"Sudah, nggak apa-apa."
Aku mendongak, wajahnya masih tertunduk membersihkan sisa-sisa kelapa yang menempel. Laki-laki di depanku memakai kaos hitam, otomatis akan terlihat jelas potongan-potongan kelapanya yang berwarna putih. Bagaimana ini, bagaimana bisa aku seceroboh ini, astaga Meyta.
"Beneran nggak apa-apa?" aku memastikan.
Dia tersenyum "Sudah, saya mau pergi. Sudah telat."
Dia berjalan seperti terburu-buru entah mau kemana. Saat melihat punggungnya pergi, seseorang menegurku untuk tidak berdiam di tengah jalan.
Fokus ku teralihkan, dan kini ia sudah hilang. Masih dengan perasaan tidak enak, aku sengaja mencarinya untuk meminta maaf lagi. Sejauh mata memandang, aku belum menemukan ciri-ciri seperti laki-laki tadi.
Badannya agak berisi, tingginya sekitar 172 cm dengan rambut sedikit acak-acakan dan beratnya. Eh, kenapa aku sok tahu begini.
Dengungan keras terdengar menusuk telinga. Asalnya dari arah panggung. Lapang yang digunakan untuk Sunday Fair sebenarnya cukup luas, panggung yang diletakkan di kepala lapang memang bagus.
Banyak pengunjung yang sudah berkerumun menanti penampilan band yang akan tampil tapi aku tidak tertarik untuk melihatnya.
Aku masih mencari laki-laki tadi, tapi sepertinya dia sudah pergi ke suatu tempat. Ke toko pakaian mungkin, karena bajunya basah.
Jika saja itu benar, maka rasa bersalahku bertambah. Harusnya aku yang memberikan kaosnya sebagai permintaan maaf.
Acaranya sudah dimulai. Tapi aku sudah tidak tertarik lagi. Fokus ku teralihkan sekarang. Sudahlah, mungkin dia memang sudah pulang, pikirku.
"Dan ini penampilan yang ditunggu-tunggu, kita sambut The Twilight." seru pemandu acara di atas panggung.
Benar saja, ternyata tadi yang sedang menyeting beberapa alat musik itu adalah anggota band The Twilight. Seketika ramai pengunjung yang merapatkan barisan mereka ke depan agar lebih jelas menonton idola mereka.
Sudah pukul lima petang.
Pasti mama sudah pulang dari rumah Om Teguh. Karena aku sudah tidak mood lagi untuk menonton pertunjukan band nya, ku putuskan untuk pulang.
Tapi sebentar, aku hendak beli buku dulu untuk bacaan ku di rumah. Karena buku yang aku punya sudah aku baca semuanya. Syukurlah, sekarang stand bukunya tidak sepenuh tadi. Ada banyak buku yang dijual, mulai dari buku anak hingga dewasa. Ada pula buku resep masakan dan minuman. Novel fiksi dan non fiksi juga tersedia.
Aku beli satu novel dan satu notebook untuk catatan di rumah. Setelah membayar, aku pergi dari kawasan Sunday Fair.
Menunggu angkot dengan warna yang sama, yaitu kuning. Tidak seperti biasanya, angkutan umum yang sering aku tumpangi tidak ada. Apakah semua angkot sedang ngetem? Ah tidak mungkin.
Panas menyengat kulit, dan aku mulai berkeringat. Sebuah motor berhenti di hadapan ku. Karena kupikir ia akan pergi ke Sunday Fair, aku sedikit menggeser tubuhku ke samping.
"Hai Meyta, butuh tumpangan?"
***
Syafiq. Aku baru tahu itu adalah dia saat membuka helm full face nya. Sudah lama sejak aku terakhir kali bertemu dia.
Syafiq teman sekelas ku waktu SMP, dan kita berpisah karena dia harus pindah ke luar kota bersama keluarganya. Ayahnya seorang pegawai negeri sipil yang dimutasi ke daerah lain.
“Syafiq?” tanyaku memastikan.
“Iya Mey, ini aku.” katanya
“Kamu sehat?” aku basa-basi.
“Nanti aja tanya-tanya nya, kamu naik dulu.” titahnya.
"Emang boleh?"
"Nggak boleh sama siapa coba?"
"Ya mungkin sama pacar mu, aku kan nggak tahu."
"Aku belum punya pacar Mey, ayo cepet panas banget ini."
Tanpa disuruh dua kali, aku langsung naik ke atas motornya. Untung saja motornya bukan motor gede atau apalah itu yang membuat jok penumpang tidak nyaman saat duduk.
Serasa sudah nyaman, aku berseru untuk lekas jalan. Sudah hampir empat tahun mungkin aku tidak bertemu dengannya. Tapi wajahnya masih sama. Matanya yang belo dan hidungnya yang mancung juga rambut yang tebal. Mungkin hanya tingginya saja yang berubah. Sekarang dia lebih tinggi.
"Kabarmu baik kan, Mey?" tanya Syafiq di tengah perjalanan.
"Sudah lebih baik dari terakhir kali kita ketemu." jawabku dengan sedikit berteriak.
"Syukurlah, kalau kamu baik-baik saja."
Aku tidak mengindahkan kalimatnya. Takut fokusnya ke jalanan terganggu.
Sudah hampir sampai jalan menuju rumah, tapi Syafiq malah berhenti di sebuah tempat makan. Semacam rumah makan padang. Aku kadang beli nasi padang di sini bersama mama.
"Kita makan dulu, ya?" Syafiq membuka helmnya. Ia turun lebih dulu.
Aku termangu "Mey, kok diem?"
"Aku nggak lapar, kamu aja yang makan." tolak ku halus.
"Kalau gitu, aku bungkus aja, buat kamu satu, ibumu satu."
Tanpa menunggu persetujuan, Syafiq langsung memesan tiga bungkus nasi padang.
Dari dulu selalu saja seperti itu. Syafiq mengajakku ke dalam, menunggu pesannya siap. Sesekali mengajakku mengobrol agar suasananya tidak terlalu canggung.
Tak lama kemudian pesanannya sudah siap. Aku berjalan menuju motor Syafiq lebih dulu "Ini buatmu dan ibumu." Syafiq menyodorkan sebuah plastik berisikan nasi padang yang tadi ia pesan.
"Padahal aku kan nggak minta, ibu juga mungkin sudah makan di rumah."
"Nggak apa-apa Mey, itukan cuma mungkin. Siapa tahu ibumu memang belum makan?"
"Tapi kamu nggak harus beliin makanan juga, aku bisa kok beli sendiri, kan jadi ngerepotin." eluh ku.
"Nggak ngerepotin Mey, sudah ah ayo pulang, keburu magrib. Nanti ibumu khawatir." Syafiq melajukan kembali motornya.
Aku yang duduk di kursi penumpang merasa serba salah. Padahal kami baru saja ketemu setelah empat tahun tapi dia malah memberikanku nasi padang.
Setelah sampai rumahku, Syafiq pamit pulang. Dia tidak mau mampir dulu karena katanya kurang sopan kalau bertamu menjelang magrib. Sebelum ia pergi, aku tak lupa berterima kasih.
"Ma, aku pulang." seru ku dari luar menuju ke dalam.
"Di antar siapa, Mey?"
Ternyata mama tahu aku diantar oleh Syafiq, atau mama ngintip dari jendela?
"Itu mah, Syafiq, teman SMP."
"Temen SMP yang mana? Kok mama nggak tau?" mama semakin penasaran.
"Nggak harus semua temen Meyta mama harus tahu kan?"
"Iya juga sih, tapi kan—"
"Ini ma dari Syafiq, dua bungkus nasi padang." aku memberikan plastik berisikan nasi padang tersebut kepada mama.
"Kok dua Mey?" tanya mamah setelah membuka bungkusan.
Aku menatap mama heran. Maksudnya dua saja tidak cukup, begitu? Seakan paham maksud ekspresi wajahku, mama melanjutkan "Bukannya itu buat kamu saja, ya?"
"Tadi Syafiq bilang, satunya buat mama, siapa tahu mama belum makan."
"Nanti titip bilang makasih, Mey ke Syafiq." mama nyengir lantas pergi hendak menyantap nasi padang nya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Tawanan Kata
Novela JuvenilAda hal yang harus kami terima bahwa hidup ini memang menyimpan banyak pertanyaan. Jutaan variabel yang masih belum terpecahkan menjadi akar dari kesalahpahaman. Satu bulan kemudian Sastra sembuh, menyatakan perasaannya sekali lagi padaku, dengan ka...