Setiap hari berjalan sesuai dengan semestinya, aku pagi-pagi berangkat kerja, mengerjakan pekerjaanku dengan sungguh-sungguh dan menyelesaikannya tanpa hambatan.
Hidup di zaman ini, maksudku zaman serba modern seperti ini harus kita yang menyesuaikan diri, semesta dan teknologi tidak mau repot-repot berhenti dulu jika kita menginginkannya.
Zaman dimana banyak pro dan kontra yang berseliweran di internet. Zaman menyalahkan satu kesalahan dengan ribuan pasukan penyerang. Padahal kita semua tahu bahwa tidak ada yang namanya manusia sempurna, setiap insan di bumi pasti melakukan kesalahan.
Hari ini hari Sabtu, aku kerja setengah hari dan sekarang aku sedang berjalan menuju cafe untuk menemui seseorang. Ia sedang libur semester dan kami sudah ada rencana untuk bertemu. Dulu, kita sering bertemu tanpa memikirkan jadwal, sekarang harus menentukan jadwal dahulu kalau mau bertemu. Duniaku sudah mulai berubah.
"Ada apa pak?" tanyaku pada seorang bapak tua yang sedang dimarahi habis-habisan oleh perempuan paruh baya.
"Nggak usah ikut campur, ini bukan urusan kamu." sentak ibu tersebut kepadaku.
Aku hanya tersenyum, kembali bertanya pada bapak tua di sampingku yang sekarang semakin menunduk, "Kenapa pak?"
Dengan wajah yang masih tertunduk ia menjawab, "Saya lupa bawa sepatu titipan anak saya di rumah, hari ini dia wisuda." katanya.
"Bisa-bisanya bapak lupa, anak bapak harus menanggung malu pak karena sepatu yang dia pake jelek sekali, ibu juga malu pak." seru si ibu.
"Bu, bapak nya lupa itu hal yang wajar, apalagi usianya udah nggak muda lagi." kataku menengahi.
"Mana ada bapak yang lupa hari wisuda anaknya!" suaranya meninggi, membuat beberapa pejalan kaki menyoroti kami.
"Ada jutaan bapak di dunia yang tidak bisa merasakan bagaimana rasanya melihat anak mereka memakai toga dan dikalungkan medali di atas panggung, ada puluhan juta anak yang tidak bisa merasakan bagaimana mengenyam pendidikan di universitas. Seperti saya."
Aku bukan ingin menyombongkan diri bahwa aku tidak kuliah, aku hanya tidak tega melihat bapaknya di marahi seperti itu di depan umum. Selang beberapa menit kami berdebat, sebuah motor butut keluaran tahun 2000-an mendekat, "Ibu bapak kemana saja, Ando cariin dari tadi acaranya udah mau mulai." katanya dengan tergesa.
"Itu bapakmu Do, dia lupa bawa sepatu yang ibu suruh." sahut sang ibu.
"Ando nggak peduli bu mau pakai sepatu yang bagus atau nggak, yang Ando mau cuma ibu dan bapak hadir di acara wisuda Ando, itu aja."
Masalahnya selesai.
Aku pergi tanpa permisi karena aku tidak mau ditanya siapa dan ada apa dengan mereka berdua. Aku lanjut berjalan pergi, ada seseorang yang harus aku temui.
Langit cerah berwarna biru bersih tanpa ada awan putih yang mengganggu, aku berjalan di tengah kota yang cukup ramai, tapi tidak seramai ibu kota negara.
Tiupan angin dan rindangnya pepohonan di trotoar jalan membuat suasana sejuk, tak ayal banyak pengunjung ke kota ini karena mereka ingin berlama-lama di sini.
Sebentar lagi tujuanku sampai, dia sudah mengirimkan pesan beberapa waktu lalu mengabarkan bahwa dia sudah sampai. Siapa lagi kalau bukan Syafiq.
"Maaf nunggu lama " kataku.
Syafiq menoleh tersenyum, "Nggak apa-apa."
Syafiq memilih cafe ini karena cafe ini dekat dengan rumahku, "Mau pesen apa?" tanyanya.
"Cappucino saja satu, sama cake coklat." aku menyimpan tas yang ku bawa di pinggir.
"Inget umur, Mey. Nanti diabetes baru terasa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tawanan Kata
Teen FictionAda hal yang harus kami terima bahwa hidup ini memang menyimpan banyak pertanyaan. Jutaan variabel yang masih belum terpecahkan menjadi akar dari kesalahpahaman. Satu bulan kemudian Sastra sembuh, menyatakan perasaannya sekali lagi padaku, dengan ka...