Bab 13

1 1 0
                                    

Jalanan hari ini dipenuhi oleh kendaran roda dua, empat, dan bahkan enam belas. Setelah turun dari angkot, aku disambut oleh hitamnya asap knalpot bus di depan.

Aku sontak menutup hidung saat memberikan ongkos lantas masuk ke kantor. Dewa sudah duduk siap menyambut pelanggan. Yuni belum kelihatan. Biasanya dia datang lima menit sebelum buka. Aku menyimpan tas di loker, mengambil tanda pengenal lalu di pasang di dada sebelah kiri.

Aku bergabung dengan Dewa. Mejaku di sebelah kiri “Tumben datang cepet.” kataku menggoda.

“Iyalah, baru tahu?” ujarnya dengan nada congkak.

Aku bergidik ngeri. Masih ada lima belas menit lagi sebelum buka. Kulihat seseorang memarkirkan motornya di depan. Kutebak itu Yuni.

Hijabnya selalu sama jika sedang bekerja. Bukan karena ia tidak punya hijab lain, tapi dia suka sekali dengan warna biru dongker. Ia tampak sedikit berlari masuk “Aku nggak telat kan?” katanya dengan tergesa.

“Kita sudah tutup malah.” kata Dewa.

Aku nyengir “Nggak kok, Yun.”

Yuni lantas pergi ke belakang untuk bersiap-siap. Ia memutar bola mata kepada Dewa yang menganggapnya bercanda. Aku hanya menggeleng tersenyum.

Jika dilihat, bukan aku yang cocok dengan Dewa tapi Yuni sendiri. Mereka sering meledek satu sama lain. Mereka juga memiliki banyak kesamaan. Selain suka warna biru dongker, Yuni dan Dewa juga suka makanan berkuah.

Pernah satu waktu saat kami makan di tempat ramen, dua-duanya memesan jenis ramen yang sama dan memakai kuah yang sama. Terlebih lagi, mereka juga sama-sama suka es krim cone.

Yuni sudah keluar lagi. Kali ini ia lebih rapi. Dewa memandangnya beberapa saat lalu menatap ke arah lain. Aku tersenyum malu entah kenapa. Melihat dua teman kerjaku seperti pasangan yang sedang bertengkar.

Pak Tinto membuka pintu tanda kantor dibuka. Memberikan nomor antrian kepada setiap pelanggan. Aku siap memulai kerja. Pelanggan demi pelanggan silih berganti. Hari ini banyak sekali orang yang membuka rekening.

Satu-dua adalah anak usia 18 tahun yang baru membuat KTP. Sisanya adalah bapak-bapak dan ibu-ibu yang usianya rata-rata 35 tahun. Semakin canggih teknologi semakin canggih pula metode pembayaran. Tinggal klik lewat hape semua sudah beres.

Kantor tutup tepat waktu. Tidak ada hambatan lain yang mengganggu. Pekerjaanku di depan maupun di belakang sudah selesai. Yuni pun sama begitupun dengan Dewa. Kamu keluar bersamaan.

Mengucapkan terima kasih kepada pak Tinto lantas berjalan beriringan ke depan. Dewa membawa mobil dan Yuni membawa motor. Hanya aku yang menggunakan angkutan umum.

“Sampai jumpa besok, Mey.” seru Yuni sembari mengenakan helm.

“Besok libur Yun.” kata Dewa menyelang jawabanku.

Aku dan Yuni tertawa. Sepertinya kami terlalu fokus bekerja sampai lupa kata libur. Tepat saat Yuni menghidupkan motor.

Sebuah angkot berhenti. Aku lantas masuk “Aku duluan ya.” kataku. Yuni dan Dewa menggelengkan tangan. Aku tersenyum mengangguk.

Bau bensin langsung memenuhi seisi angkot. Itu hall yang biasanya jika kita menaiki angkutan umum di jalan raya.

Selain bau bensin pengguna angkutan umum juga sering disambut tidak baik oleh asap knalpot, apalagi yang warnanya sudah hitam.

Belum ada inovasi canggih yang bisa mengurangi bau bensin tapi aku yakin manusia di masa depan bisa membuatnya.

“Baru pulang kerja kah neng?” tanya supir angkot dengan logat batak.

Tawanan KataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang