Sama halnya seperti jalan pusat kota lain yang sepanjang jalannya dihiasi oleh pohon-pohon rindang serta taman-taman yang asri. Bangku-bangku yang terbuat dari besi berjejer di sepanjang trotoar. Ramainya pengemudi tidak membuat kemacetan yang signifikan.
Sinar matahari mulai terasa panas. Hembusan angin menabrak wajah dengan konstan. Lampu merah. Ada beberapa pengamen yang menyanyikan lagu jadul, ada pula pembersih kaca mobil, beberapa anak-anak rata-rata perempuan menawarkan tisu kepada pengemudi. Ini pemandangan yang biasa seperti di tempatku.
Lampu kembali hijau. Gedung-gedung pencakar langit tersebar di setiap sudut. Restoran-restoran besar serta cafe-cafe yang sedang riweh karena banyaknya pelanggan yang datang.
Satu dua anak remaja menikmati suasana kota dan yang lain terlihat asik bercanda gurau dengan temannya. Saling melemparkan candaan yang membuat mereka tertawa.
Aku sudah sampai di tujuan. Sebuah gedung megah berwarna putih bertuliskan Galeri Lukisan terpampang nyata di depanku. Aku turun lantas memberikan ongkos.
“Neng helm nya.” serunya.
“Oh iya lupa.”
Aku tertawa malu. Setelah memberikan helm nya aku langsung masuk ke dalam area museum yang sudah dipenuhi banyak pengunjung.
Selain ke museum, beberapa dari mereka juga hendak menghadiri pameran lukisan yang pak supir batak itu katakan. Aku menghampiri satpam yang sedang berjaga lantas bertanya “kalau mau ke pameran harus beli tiket juga?” tanyaku.
Soalnya dari beberapa pengunjung aku melihat mereka menggenggam tiket di tangan nya.
Pak satpam tidak langsung menjawab ia diam sambil memperhatikan“Mbak Meyta?”
Mengapa dia tahu namaku “Iya pak, saya Meyta.”
“Mbak salah satu tamu VIP di acara pameran lukisan hari ini. Mari saya antar ke dalam.” pak satpam mengajakku melewati pintu yang berbeda.
Melewati pintu warna coklat yang ada di samping gedung.
Aku? VIP? Yang benar saja, aku bahkan tidak tahu siapa yang menggelar pameran ini dan siapa pelukisnya, "Maaf pak, tapi saya baru kesini lagi setelah lama." aku mengatakan dengan sejujurnya.
"Nggak tahu mbak, saya hanya menjalankan tugas." katanya. Benar juga, aku akhirnya mengangguk.
Tanpa rasa takut aku mengikutinya dari belakang. Saat masuk, mataku disambut oleh banyak sekali lukisan indah yang dilukis oleh tangan profesional.
Lantai pualam yang ikut bersinar bersama dengan lampu yang menyinari ruangan. Ukuran lukisan yang dipajang bervariasi. Ada yang kecil, sedang, besar, hingga sangat besar.
Setiap lukisan memiliki penjelasannya di bawah pojok kanan lukisan. Aku sesekali melirik ke dalam tulisannya.
Pak satpam balik kanan “Ayo mbak, pamerannya di lantai dua.”
Karena asik mengamati setiap lukisan, aku berhenti sejenak. Pak satpam sudah lebih dulu menaiki tangga yang terbuat dari pualam yang sama.
Aku mengikutinya dari belakang. Terdengar suara tawa dari atas sana. Suara laki-laki dewasa. Lebih dari dua orang aku rasa.
Pak satpam sudah sampai lebih dulu kemudian aku datang di belakangnya. Lukisan di atas tidak kalah mengagumkan. Setiap lukisan di kerumuni oleh pengunjung yang datang.
Sebagian dari mereka adalah orang-orang besar pikirku. Karena dari pakaian yang mereka kenakan seperti setelan jas dan dress yang dipadukan dengan tas jinjing di tangan mereka.
Aku mematung untuk beberapa saat kemudian suara ketukan sepatu terdengar membuatku menoleh “Ku kira kamu nggak akan datang.” katanya dengan suara yang berat dan terkesan berwibawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tawanan Kata
Teen FictionAda hal yang harus kami terima bahwa hidup ini memang menyimpan banyak pertanyaan. Jutaan variabel yang masih belum terpecahkan menjadi akar dari kesalahpahaman. Satu bulan kemudian Sastra sembuh, menyatakan perasaannya sekali lagi padaku, dengan ka...