Pintu rumah sedikit terbuka. Sepertinya ada tamu, tapi siapa malam-malam begini bertamu ke rumah. Apa om Teguh? Ah tidak mungkin, om Teguh jarang sekali berkunjung ke rumah. Biasanya ibu yang disuruh ke rumahnya.
Sepasang sepatu tersimpan rapi di teras rumah sebelum pintu masuk. Sepatu sneaker lusuh warna hitam yang tampak familiar. Terdengar suara ibu sedang berbincang dengan lawan bicaranya di dalam. Aku lantas masuk tanpa permisi.
“Kamu baru pulang, Mey?” ibu menegur.
Aku tersenyum “Iya, bu.” seketika pandanganku beralih. Sosok paling aku tunggu akhirnya menampakkan wajahnya. Sastra tersenyum sangat manis kepadaku. Dengan rambutnya yang rapi dan penampilan semi formal.
Ia mengenakan baju polo warna biru dongker dan celana bahan warna hitam. Di tangan kirinya melingkar sebuah jam berwarna perak.
“Sastra baru saja mau pulang, Mey.” kata ibu.
Pandanganku masih belum beralih dari kedua surai itu. Bisa-bisanya dia datang lagi bukannya langsung menemuiku malah bertemu dengan ibu. Sastra beranjak dari duduknya
“Kalau begitu saya duluan, bu. Meyta juga sudah pulang.” apa-apaan? Lama nggak ketemu sekarang malah menghindar?
“Kamu nggak mau ngobrol dulu sama Meyta?” tanya ibu.“Kayaknya Meyta lagi capek, lebih baik dia istirahat dulu.” katanya.
“Nggak kok, aku nggak capek. Aku juga mau ngomong sama kamu.” sergahku.
Ada banyak sekali pertanyaan dalam kepalaku yang berebut ingin keluar. Menanyakan jawaban langsung dari mulut seorang Sastra.
Aku meminta izin untuk berbicara di luar kepada ibu. Ini belum terlalu larut jadi ibu mengijinkan. Sastra salam kepada ibu lantas berjalan keluar. Memakai sepatunya.
Aku jalan duluan, sedikit mempercepat langkah agar kami bisa buru-buru berbicara.
“Tunggu dong, Mey.” pintanya.
Aku balik kanan “Cepet jalannya.” kataku sedikit ketus.“Kita mau kemana?”
“Nggak tahu, jalan aja dulu.”
Sastra tertawa “Mending ke cafe yang waktu itu kita ketemu, gimana?”
Ingatanku lompat ke masa itu. Masa dimana tiba-tiba saja aku dan Sastra minum kopi berdua padahal kami tidak saling kenal.
Hanya karena bajunya yang ketumpahan es kelapa, kini kami jadi dekat. Eh, maksudku kami jadi kenal. Sastra memarkirkan mobilnya di pinggir jalan dekat trotoar.
Aku masuk dengan hati-hati lantas mobilnya melaju dengan perlahan.
Jaraknya tidak begitu jauh, hanya lima menit jika ditempuh menggunakan kendaraan. Jalanan ramai tapi masih bisa berjalan lancar.
Tidak lama kami sampai di parkiran cafe yang sepi. Hanya ada satu dua mahasiswa yang sedang mengerjakan tugas. Juga mas barista yang asik memainkan hapenya.
Aku turun lebih dulu disusul Sastra dari belakang. Aku duduk di sudut ruangan, Sastra memesan minuman dan sepotong cake. Dia tahu minuman favorit ku cappucino, jadi dia tidak bertanya dahulu kepadaku.
Sesaat, Sastra sudah datang menghampiri meja sembari membawa dua gelas minuman dan cake yang dia ambil belakangan.
“Kasihan barista nya, shift sendiri.” ujar Sastra lantas duduk.
Aku tidak mengindahkan, aku langsung menyesap kopinya yang masih panas sedikit demi sedikit. Begitupun dengan Sastra. Lima menit kemudian hanya lengang tanpa ada yang membuka percakapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tawanan Kata
Fiksi RemajaAda hal yang harus kami terima bahwa hidup ini memang menyimpan banyak pertanyaan. Jutaan variabel yang masih belum terpecahkan menjadi akar dari kesalahpahaman. Satu bulan kemudian Sastra sembuh, menyatakan perasaannya sekali lagi padaku, dengan ka...