16. The first savior

249 28 0
                                    

Cahaya matahari terik memaksa masuk ke dalam jendela kereta kuda milik seorang gadis bersurai merah muda dengan seragam Academy Roudenville melekat rapi pada tubuh ramping nya.

Lamia menghela nafas panjang. Memandang ke luar jendela lain yang tak terpapar sinar matahari. Pada akhirnya saat-saat Kaisar memberikan surat panggilan pun tiba. Setibanya surat itu tadi pagi, saat itu pula Kaisar menuliskan perintah nya agar Lamia segera ke istana.

Ia juga pergi tanpa sepengetahuan Karlo, kalau laki-laki remaja itu tahu sudah pasti ia akan merengek ingin ikut dan tidak akan mau di tinggal di Academy. Padahal ia baik-baik saja, lagipula mereka sudah besar semua. Sudah bisa menjaga diri sendiri.

Ckit!
(sfx: kereta kuda mengerem)

Lamia terseruduk kedepan layaknya banteng yang siap menyeruduk bendera merah di hadapan nya. Untung saja ia bisa menahan dirinya agar tidak terlalu condong ke depan. Kalau tidak, jidatnya sudah ada tombol merah sekarang.

"Ada apa, pak?" Lamia akhirnya menyembulkan kepala nya keluar dari jendela kereta.

"Anu, maaf Nona. Saya kaget karena tiba-tiba anak ini mencegat kudanya." Jawab Pak kusir terdengar kebingungan.

Anak? Mencegat kuda? Astaga berbahaya sekali! Pikir Lamia yang berinisiatif keluar kereta kudanya untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi.

"Saya mohon! Tolong adik saya, kak! Kakak pasti seorang bangsawan 'kan? Kakak punya uang banyak 'kan?"

Seorang anak laki-laki sekisaran usia 8 tahun yang mulanya berdiri tepat di hadapan kuda, kini berlutut di hadapan Lamia dengan air mata yang membanjiri pipi kurus nya dan tangan yang saling mengusap guna memohon.

Tubuhnya kurus, pakaiannya sangat lusuh, rambutnya benar-benar berantakan dan tidak terawat. Belum lagi bekas luka di tangan, wajah, dan kaki yang tidak menggunakan alas apapun. Air muka nya terlihat sangat putus asa.

"Hei, menjauhlah dari Nona Berenice, Nak!" Pak Kusir segera turun dari kursi nya dan hendak menarik anak laki-laki itu hadapan Lamia.

"Tunggu, pak. Tidak apa-apa." Larang Lamia yang membuat pergerakan Pak Kusir langsung terhenti.

"Tapi anak ini kotor, Nona. Nanti anda juga akan kena masalah jika membuat Yang Mulia menunggu."

"Tenang saja, pak. Kaisar tidak akan bisa memarahi atau pun menghukum ku." Ujar ku penuh percaya diri.

Hahaha! Tentu saja, bagaimana bisa Kaisar memarahiku yang notabene nya adalah keponakan dari perempuan yang selama ini ia cintai namun tidak bisa ia miliki? Dalam hati Lamia tertawa jahat.

Lamia beralih pada anak laki-laki yang kini sudah berdiri sembari menghapus air matanya menggunakan punggung tangan nya yang kotor terkena tanah entah dari mana.

Ia lantas mengambil sapu tangan dari saku nya lalu memberikan sapu tangan itu pada Anak laki-laki yang kini menatapnya dengan wajah sembab dan pandangan penuh tanya.

"Lap air matamu menggunakan ini." Pinta Lamia sembari tersenyum.

Kembali menyodorkan sapu tangan nya pada Anak yang dengan malu-malu menerima nya, kemudian mengelap wajahnya sendiri menggunakan sapu tangan itu dengan kasar dan tidak beraturan.

Lamia segera meraih tangan anak itu karena geregetan melihatnya. Ia membantu menggerakkan tangan anak itu agar mengelap sisa air matanya di pipi dengan benar.

"Sudah merasa lebih baik?" Tanya Lamia yang di angguki Anak itu.

Lamia lantas mengusap puncak kepala anak itu pelan. Dalam hati ia prihatin sekali dengan kondisi anak tersebut. Bagaimana ia bisa hidup mewah sementara banyak anak sekecil ini di luaran sana yang mati-matian bertahan hidup.

"Bisa jelaskan pada kakak, apa yang terjadi pada adikmu?" Tanya Lamia lembut.

Anak itu menunduk. Memainkan jarinya dengan tangan kiri yang menggenggam sapu tangan milik Lamia. "Adik saya lebih dari seminggu ini demam tinggi, dan semakin parah hingga hari ini."

"Antarkan kakak ke adikmu." Ucap Lamia langsung membuat anak laki-laki itu mendongak dengan air muka terkejut.

Sepersekian detik kemudian anak itu tersenyum senang kemudian mengangguk semangat. Namun, Pak Kusir lagi-lagi menahan Lamia dan anak tersebut dengan alabi Kaisar telah menunggu untuk kedua kalinya.

"Kalau anda terlalu cemas, silahkan menghadap Yang Mulia duluan. Sampaikan juga saya sedang mengurus urusan yang mendesak." Dengan ekspresi datar nya Lamia meminta anak itu menuntun jalan nya.

Pak Kusir yang pasrah pun akhirnya mau tak mau mengikuti Lamia bersama bocah kecil yang menuntun mereka memasuki hutan yang ramai dengan suara hewan dan gemersik dedaunan.

Yang membuat Lamia tidak menyangka adalah, bagaimana bisa ada rumah kecil di tengah hutan yang rimbun dan rumah itu hanya di huni oleh kakak beradik yang masih sangat kecil. Padahal jelas bisa membahayakan hidup mereka.

Tanpa sadar gigi Lamia bergemeletuk kesal. Apa yang telah di lakukan oleh Kaisar dan Para Petinggi? Dimana hukum tentang perlindungan anak dan jaminan kehidupan yang telah di tetapkan sedari dulu?

"Ka-kak, tu-buh-ku ra-sanya pa-nas." Ujar lirih seorang bocah perempuan yang terbaring lemah di atas tanjang nya dengan nafas yang tak teratur dan mata yang sayup-sayup seperti akan tertutup.

"Bertahanlah Daisy! Kakak membawa bantuan! Oke?" Bocah laki-laki itu menenangkan adiknya sembari menggenggam tangan mungil nan kurus itu.

Dengan cepat Lamia mendekat dan mengusap dahi bocah bernama Daisy yang sudah penuh dengan keringat. "Halo daisy." Sapa Lamia dengan senyuman hangatnya. Dapat ia rasakan suhu tubuh Daisy yang seperti akan membakar telapak tangan nya.

Bagaimana bisa anak sekecil ini menahan panas yang sangat tinggi menjalar ke sekujur tubuhnya? Daisy benar-benar anak yang hebat dan kuat. Ia saja mungkin tak akan sanggup dan sudah pingsan.

"Ma-laikat?" Ujar Daisy membuat Bola mata Lamia kontan melebar.

Lamia lantas menggeleng pelan. "Kakak bukan malaikat, tapi Peri Penyembuhnya Daisy."

Kakak Daisy sudah menangis di sebelah Lamia dengan suara yang tertahan karena bocah itu membekap mulutnya sendiri. Sementara Pak Kusir mengusap punggung bocah itu pelan. Jujur saja ia juga merasa iba, tetapi juga takut dengan Kaisar yang mungkin saja murka bila ia terlambat mengantar Lamia.

"Ka-kak Pe-ri?"

Setelah Daisy mengucapkan dua patah kata tersebut, Keluar cahaya keemasan dari tangan Lamia yang menempel pada dahi Daisy yang membuat bocah perempuan itu akhirnya tertidur lelap.

Kedua iris mata Lamia berubah warna menjadi emas, dan mulai memudar bersamaan dengan cahaya keemasan yang berangsur menghilang dari telapak tangan nya.

Lamia menghela nafas pelan. Beralih menatap Bocah laki-laki yang masih menatap adiknya khawatir. Tangan Lamia tidak bisa untuk tidak mengusap kepala bocah itu guna menyalurkan ketenangan.

"Adik mu sudah pulih kembali. Kau tidak perlu khawatir mulai sekarang." Ujar Lamia membuat bocah laki-laki itu kembali menangis.

"Adik saya tidak akan mati 'kan, kak?" Tanya nya dengan suara serak dan tangis yang sesegukan.

Lamia menggeleng. "Tidak. Itu semua berkat Daisy yang punya kakak sehebat dirimu. Dan berkat Daisy juga yang sudah berusaha bertahan."

"Terimakasih kakak! Aku tidak akan melupakan kakak!"

Lamia terkejut begitu bocah laki-laki di depan nya sujud hingga kepalanya membentur lantai kayu di tempat mereka pijak sekarang.

"Hei, berdirilah!" Lamia langsung menegakkan kembali bocah yang masih menangis itu.

"Saya tidak tahu harus berterimakasih bagaimana pada kakak. Saya tidak punya apa-apa." Ujarnya. “Kami hanya hidup berdua saja. Orang tua kami meninggal sejak Daisy masih bayi. Kalau ada yang bisa saya lakukan, katakan saja kak.”

"Kau mau membalas budi?" Tanya Lamia membuat bocah kecil mengangguk pelan dengan muka sembab. "Kalau begitu ayo ikut kakak pulang. Bawa semua barang berharga kalian dan tentu saja ajak Daisy juga."

-To Be Continued

I'll protect my little wife!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang