Sejarah Akan Terulang (1)

0 0 0
                                    

Udara dingin yang menyelimuti bukit itu tak mengganggu sepasang makhluk yang sedang jatuh cinta. Bahkan, mereka selalu menikmatinya setiap malam. Gemintang yang begitu indah dapat dinikmati lebih dekat dari sana. "Kau tahu, aku terkadang tidak habis pikir mengapa murkaku sangat besar ketika memasuki medan pertempuran. Apalagi, ketika darah para musuh sudah masuk kedalam mulutku. Aku seakan gelap mata dan hanya tahu bagaimana menghabisi mereka semua tanpa tersisa. Padahal, jika dipikirkan sekarang, tidak semua dari mereka pantas untuk mati." Pria tersebut meletakkan kepalanya diatas paha wanita yang sangat disayanginya, membelai wajah wanita itu dengan lembut, mencoba menggambarkan cinta yang sangat sulit terucap. 

"Bagaimana jika salah satu dari mereka adalah dirimu? Bagaimana jika salah satu dari mereka adalah keluargamu? Banyak bagaimana yang terus-terusan mendatangiku. Rasa-rasanya, aku ingin sekali berhenti. Aku ingin tinggal bersamamu disini, melihat anak kita tumbuh dewasa, melihatnya mulai jatuh cinta, mungkin memiliki satu atau dua pasang cucu, lalu hidup bahagia selama-lamanya." Dia terus menatap mata indah pujaan hatinya, seakan setelah itu, dia tak dapat menumpahkan semua kerinduannya lagi.

Wanita itu pun menggenggam tangan yang sedang membelai wajahnya, mengecupnya, dan menempelkannya di pipi. "Yang kau lakukan adalah menjalankan tugasmu, suamiku. Tidak lebih. Sebagai panglima perang tertinggi para dewata, sudah menjadi kewajibanmu untuk mengalahkan semua musuh yang ada. Jadi, jangan pernah merasa bersalah. Rasa bersalah hanya akan menggerogoti ketenangan jiwamu. Biarkan anak kita nantinya merasa bangga dengan ayahnya, Batara Arun yang perkasa, yang menjadi ujung tombak paling mematikan para dewata. Biarkan anak kita tumbuh dengan kisah-kisah heroikmu, biarkan dia tumbuh dengan keberanian yang selalu melekat pada namamu. Aku tak apa jika harus seperti ini selamanya."

Entah mengapa, air mata lelaki itu mulai menetes, seakan dapat merasakan apa yang akan terjadi. Dia pun bangkit dan mencium wanitanya dengan penuh perasaan. Air mata terus saja berjatuhan, disusul dengan isakan yang tak tertahankan.

Wanita itu langsung memeluk suaminya. "Aku tahu, statusmu sebagai seorang dewata membuatmu dapat memperkirakan apa yang akan terjadi seratus langkah ke depan, dan ada sesuatu yang sedang mengganggumu, bukan? Sungguh, jika itu adalah hal buruk yang mungkin saja menimpa kita, aku rela. Aku tidak akan menyesal pernah mencintai dirimu. Aku tidak akan pernah bersedih walaupun kemalangan harus terus berpihak pada kita." Dia pun membalas pelukan suaminya dengan penuh kasih.

Laki-laki itu dapat melihat jauh apa yang akan terjadi. Dan apa yang baru saja dikatakan istrinya tidak salah. Ada sebuah kemalangan yang sedang menunggu mereka di depan. Kemampuan dewatanya yang dapat memperhitungkan apa yang akan terjadi itu membuat luka yang sangat perih di hatinya. Andai saja dia bukan panglima tertinggi para dewata, andai saja dia dapat menolak untuk percaya pada apa yang diperkirakannya, andai saja dia seorang manusia yang bebas mencintai siapa saja tanpa harus merasa takut akan melanggar aturan. "Maafkan aku, cintaku. Maafkan aku."

Setelah lama sekali berpelukan, si istri melepaskan pelukannya, lalu menghapus air mata yang membasahi pipi suaminya. "Sudahlah, jangan terlalu memusingkan apa yang belum terjadi. Yang sedang kita hadapi adalah sekarang, bukan kemarin ataupun besok. Jadi, tersenyumlah. Aku berjanji dengan segenap hatiku untuk selalu membuatmu bahagia." Dia pun tersenyum. "Sudah. Berhenti menangis. Kau bilang Batara Antagrata akan mengunjungi kita, bukan? Jangan sampai dia tahu kalau sahabatnya yang seorang panglima perang tertinggi para dewata baru saja menangis." Dia pun mengecup kedua kelopak mata suaminya.

***

Kilatan cahaya yang memenuhi seluruh ruangan terlihat memancar dari sebuah jubah yang digantungkan di sudut ruangan. Seseorang telah muncul. Seorang pria di pertengahan tiga puluh dengan otot-otot sempurna, kulit sewarna pualam, mata merah dengan lingkaran serupa cincin berwarna emas ditengahnya, serta janggut yang dihiasi oleh bulu lebat bersemir kekuningan. Dia mengenakan kain putih yang menyampir dari bahu sampai paha dengan kain lain di perut yang berfungsi sebagai ikat pinggang. Di bagian bawah tubuhnya, dia menggunakan kain senada sampai betis sebagai celana.

Konspirasi ParvatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang