Apa Kenangan Terindah Yang Kau Alami Bersama Ibumu?

0 0 0
                                    

Isvara tercekat, sekujur tubuhnya merinding bukan main. Dia tidak bermaksud mengintimidasi Chandra, namun sepertinya, pendekatan yang dia lakukan ini salah.

"Apakah kau menguntitku sejak aku lahir? Apakah kau selama ini terus mengawasi ku layaknya mata-mata?" Chandra mendesak maju, yang membuat Isvara terus bergerak mundur.

Isvara semakin terdesak! Tubuhnya sudah menyentuh dinding kapal dan tidak bisa mundur lebih jauh lagi, namun aura Chandra yang begitu mengintimidasi membuatnya semakin, dan semakin terdesak. Tanpa sadar, air mata mulai menetes membasahi pipinya. "T.... T.... Tidak. Tidak. Aku tidak menungtitmu. Aku tidak memata-mataimu."

"Lalu bagaimana kau yakin dengan apa yang kau katakan? BAGAIMANA?!" Chandra pun memukul dinding di belakang Isvara sampai hancur. Membuat Isvara jatuh terduduk dengan lemas karena rasa takut yang teramat sangat.

'Chandra, Chandra! Kendalikan dirimu! Kendalikan dirimu! Sepertinya darah tadi membuat emosimu memuncak terlalu tinggi. Ingat tujuanmu mengajak Isvara bersamamu! Pejamkan mata, tarik nafas perlahan lewat hidung, tahan, keluarkan lewat mulut, lakukan itu berulang-ulang. Jangan biarkan kemarahan menguasaimu!' Bahkan Antagrata terdengar panik.

Chandra melakukan apa yang dikatakan Antagrata beberapa kali sampai dirinya merasa jauh lebih tenang. Cahaya pada tanda lahirnya padam, dan tubuhnya terkulai sangat lemah, langsung terjatuh di depan Isvara yang masih ketakutan. 

Dengan rasa takut dan panik yang bercampur sekaligus, Isvara langsung mendekap Chandra dalam pelukannya. "Chandra, Chandra. Apa yang terjadi? Maafkan aku, maafkan aku." Dia pun mencium bibir Chandra dan memindahkan energi kehidupannya pada satu-satunya manusia yang dia cintai itu. Semakin lama, tubuh Isvara semakin lemas. Rasa-rasanya, sebentar lagi dia pun akan tak sadarkan diri. Karena itu, dia melepaskan ciumannya dan membopong Chandra. "Kalian semua! Persiapkan kamar tidur!"

***

Chandra terbaring sangat lemah di ranjang yang biasa digunakannya tidur selama perjalanan laut tersebut. Energinya benar-benar terkuras habis, bahkan untuk menggerakkan mulut saja rasanya sangat sulit.

Sementara itu, Isvara yang terlihat sama lemasnya bersimpuh di samping ranjang tak terlalu tinggi itu dan tidak melepaskan tangan Chandra sama sekali. "Chandra, maafkan aku." Dia terus mengulang kalimat tersebut dengan suaranya yang sangat serak.

'Aku akan mencoba mengalirkan energiku padamu, Chandra. Bertahanlah.' Seketika itu, aliran energi dari Antagrata mulai mengaliri seluruh bagian tubuh Chandra.

Isvara bukannya tidak merasakan aliran energi tersebut, namun dia memilih tidak memedulikannya. Keselamatan dari reinkarnasi Batara Arun itu jauh lebih penting.

"Kau tidak perlu meminta maaf, Isvara. Aku lah yang bersalah karena menekanmu untuk menjawab hal yang tak mungkin kau lakukan. Maafkan perkataanku tadi, aku benar-benar terbawa emosi. Lain kali, aku hanya akan meminum darah Maruna ketika benar-benar akan bertarung melawan banyak musuh." Chandra mengatakan hal tersebut dengan sebuah senyum lemah yang tersungging di wajahnya, yang justru membuat hati Isvara semakin teriris.

"Tidak, Chandra. Aku yang memancingmu untuk bertindak demikian, aku yang bersalah." Air mata kembali membasahi pipinya.

Melihat ini, Chandra menggerakkan tangan lemahnya untuk menghapus air mata tersebut, lalu tersenyum. "Sepertinya, semenjak mengenalku, kau begitu banyak mengalirkan air mata, putri Isvara. Bisakah aku sebagai rakyat biasa memohon padamu untuk tidak menangis? Air mata membuat wajah indahmu sedikit berkurang keindahannya."

Isvara meraih tangan Chandra dan menempelkannya di wajahnya. "Tidak masalah jika tangan ini selalu ada untuk menghapus air mataku, bukan? Walaupun aku sadar permintaanku tersebut sangat lancang, aku tetap memohon belas kasih dan sedikit saja cintamu." Tak terasa, air mata membasahi tangan tersebut. "Dan tolong, jangan pernah panggil aku putri. Di kerajaanku mungkin aku adalah putri raja yang disegani seluruh bangsa siluman ular, namun ketika bersamamu, Kau adalah junjunganku, aku adalah hambamu, aku adalah budakmu yang dengan segenap jiwa dan raga akan membantumu kapanpun kau meminta, kemana pun kau memanggil."

Konspirasi ParvatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang