Seperti Inilah Rasanya! Seperti Ini!

0 0 0
                                    

Beberapa hari telah berlalu sejak kejadian itu, sudah berpuluh-puluh kali juga dia mencoba untuk mengakhiri hidupnya dengan berbagai cara, namun kematian sepertinya belum mau berada disisinya. Akhirnya, dia hanya mampu pasrah dan terus melanjutkan kehidupannya yang penuh penderitaan.

Mengapa dunia ini sangat penuh dengan tanda tanya yang tak berjawab? Dan mengapa semua tanda tanya itu harus hinggap di kepalanya yang bahkan belum siap menjawab beberapa pertanyaan sederhana mengenai hidup? Seperti sebuah ironi dalam ironi, alih-alih hidup tenang dan menikmati masa kecil bersama orang tua yang mencintai dengan tulus, Chandra malah harus tertimpa banyak sekali kemalangan diluar nalar.

Lalu, apa tujuannya sekarang? Sejujurnya, pertemuan dengan Isvara beberapa hari lalu mengubah sudut pandangnya mengenai apa yang harus dilakukan. Bukan, dia bukan berniat menuruti siluman ular itu dan berubah menjadi penyelamat dunia ala-ala, dia tetap tidak yakin bahwa ada hal berbau dewata pada dirinya. Namun, apa yang harus dia lakukan setelah ini. Apakah dia akan tetap mencari dinding Narendra dan mengadu peruntungan di sana? Apakah dia harus berhenti dan memulai hidup baru sebagai manusia baru dengan identitas baru? Tapi dimana? Apakah ada tempat yang mau menerima anak kecil pembunuh seperti dirinya?

Gambaran-gambaran itu selalu muncul, saat suara dalam kepalanya menuntun tubuhnya yang penuh kesadaran untuk membunuh beberapa orang dewasa yang bersenjata. Bagaimana dia melemparkan garpu rumput dan menancapkannya di kepala mereka, bagaimana dia hampir mengampuni dua dari mereka yang pada akhirnya tetap mati dengan garpu rumput tertancap di kepala, lalu sensasi yang dia rasakan ketika tak sengaja menelan darah dari tangan salah seorang diantara mereka yang digigitnya. Semua itu berkelindan dalam benaknya, mempertanyakan kepantasan dirinya untuk kembali tinggal di masyarakat bersama orang-orang setelah melakukan hal tak manusiawi tersebut.

Dia pun memandangi kalung yang dia ambil dari pimpinan orang-orang itu. Kalung tersebut, entah bagaimana, memiliki aura yang sangat berbeda. Batu permata yang menjadi bandul kalung tersebut berwarna hitam pekat, begitu misterius, terkadang terasa begitu panas, jika menatapnya dengan lama, terkadang dia seperti melihat gambaran orang-orang yang tengah disiksa tanpa ampun dengan api dimana-mana, membuatnya seolah-olah berasal dari neraka. Lagi-lagi, jika melihat hal tersebut, dia akan berpikir bahwa yang dilihatnya adalah manifestasi dari rasa bersalahnya karena telah membunuh orang-orang tersebut hanya demi kalung ini.

Berpikir demikian sebenarnya membuatnya sangat tidak nyaman. Namun, mau tak mau, dia harus menghadapi konsekuensi dari apa yang telah berani dia lakukan. Belakangan, dia mulai menyadari bahwa, daripada terus mengelak dari rasa bersalah ini, bagaimana jika dia menerimanya saja? Apa yang kiranya akan terjadi jika dia menerima bahwa dia pernah membunuh? Apakah dia akan membunuh lebih banyak lagi? Memikirkan itu saja membuatnya tidak mau bertemu manusia lain.

Sore itu langit sedang tidak begitu bersahabat. Awan mendung memenuhi hampir sepanjang mata memandang. Lagi-lagi, yang ada di hadapannya hanya padang sabana tanpa pepohonan yang dapat digunakannya untuk berlindung. Dia pun berjalan lebih cepat lagi, mungkin saja akan ada sesuatu yang dapat digunakannya berteduh di depan sana.

Apa itu? Setelah berjalan beberapa lama lagi, dia melihat sebuah bangunan begitu tinggi yang terbuat dari batuan alam. Apakah itu perbatasan dinding selatan yang selama ini dia cari? Apakah akhirnya dia akan keluar dari dinding ini? Ketika gerimis mulai turun, dia pun berlari secepat yang dia bisa untuk mencapai dinding tersebut.

Untung saja, ada sejenis cekungan yang membentuk ruangan tak tertutup tak jauh dari sana, yang dapat digunakannya untuk berteduh. Cekungan tersebut tidak terletak diatas tanah, melainkan di tengah dinding, dengan tangga kayu yang digunakan untuk mencapainya. Setelah memanjat beberapa anak tangga, dia berhasil mencapai cekungan tersebut. Karena berpikir bahwa udara akan sangat dingin, dia membawa beberapa ranting dan kayu tercecer yang dapat dibawanya sebelum sampai di atas sini.

Benar saja, tidak lama setelah itu, udara dingin benar-benar menggigit. Dia menyalakan api dan menghangatkan lagi ayam bakar yang ditangkapnya dua hari lalu, perutnya mulai keroncongan karena belum makan apapun sejak siang tadi. Ketika menunggu makanannya hangat, memori kebersamaan dengan ibunya menyeruak. Biasanya, dia akan mengikuti ibunya ke dapur dan melihat bagaimana wanita yang paling dikaguminya itu menyiapkan makanan. Karena itu lah dia tahu bagaimana menyalakan api menggunakan dua buah batu, bagaimana mengolah makanan mentah, juga bagaimana menjaga makanan tersebut agar tidak mudah busuk. Sungguh waktu yang benar-benar dia rindukan.

Ketika selesai dengan makanannya, dia mengeluarkan selimut, mencoba menjaga agar kehangatan dari tubuhnya tidak terlalu banyak terbuang. Kali ini, dia teringat akan Barata. Sosok kakak yang memperlakukan adiknya dengan sangat baik, sosok kakak yang selalu memiliki cara untuk menghiburnya yang sering sekali dirundung anak-anak disekitar mereka, figur kakak yang selalu membebaskan dirinya untuk melakukan apapun, penasaran dengan apapun, asalkan tetap bertanggung jawab atas dampak yang terjadi. 

Biasanya, jika hujan deras turun, mereka berdua akan duduk di depan perapian sambil berbagi selimut dan menceritakan kisah-kisah lucu maupun memainkan mainan kayu sederhana yang mereka punya, sampai akhirnya, Chandra akan tertidur dan Barata akan menggendongnya masuk ke kamar. Sungguh masa yang indah.

Tiba-tiba, kilat menyilaukan mata, guntur menggelegar memekakkan telinga. Chandra memejamkan mata dan menutup telinganya dengan kedua tangan. "Jangan sambar aku, jangan sambar aku." Sampai sekarang, dia selalu takut pada kilat yang menyambar-nyambar di langit, dia masih tidak bisa mengatasi yang satu itu. Dahulu, ibunya akan melarang dia menutup telinga karena bisa saja, dia merusak gendang telinganya jika melakukan hal tersebut saat mendengar guntur. Dia tetap tidak bisa mengusir ketakutannya soal petir, seperti dirinya yang tidak bisa mengusir rasa takutnya pada dirinya sendiri akhir-akhir ini.

Hujan terus mengguyur sampai malam tiba, api unggun yang sedari tadi membantunya menghangatkan diri sudah hampir habis, membuatnya memeluk selimut semakin rapat. Tanpa sadar, dia mulai masuk kedalam dunia mimpi.

***

"Kumohon, jangan tinggalkan aku, ibu. Aku takut sendirian. Aku tidak mau hidup tanpamu, dunia sangat kejam padaku ketika kau tak ada." Chandra menangis di kaki ibunya, mencurahkan semua yang dirasakannya selama perjalanan ini. "Aku berjanji tidak akan pernah menangis jika ada yang merundungku, aku berjanji akan menjadi anak baik, aku berjanji untuk selalu mengikuti semua yang kau katakan, aku berjanji akan menjadi anak baik yang bisa membuat ayah dan ibu bangga. Kumohon, Bu... kembali lah."

"Tidak, kau bukan anakku. Kau biarkan aku mati, bahkan kau bunuh suamiku yang kau akui sebagai ayah itu dengan tanganmu sendiri! Dan dengan semua itu kau masih mengatakan bahwa kau akan menjadi anak baik? Kau harusnya malu!" Si ibu pun menendang wajah Chandra, membuatnya terpental beberapa meter.

Namun Chandra tidak mau menyerah, dia terus bersimpuh di depan ibunya meminta pengampunan. "Kumohon, Bu. Kembalilah. Akan ku perbaiki semua kesalahan yang sudah kulakukan."

"Bagaimana? Bagaimana kau akan memperbaiki kesalahan pada kami jika kami sudah mati!?" Dia kembali menendang anaknya agar menjauh.

Lalu, si ayah tiba-tiba muncul entah dari mana dan menjulurkan tangannya pada Chandra dengan wajah bahagia. Sebuah senyuman tersungging di wajahnya. Chandra menerima juluran ayahnya tersebut dan dibantu berdiri. Namun setelah itu, si ayah mencekiknya tanpa ampun.

"Ayah, kumohon. Ini aku, Chandra. Tolong jangan seperti ini, aku berjanji akan memperbaiki kesalahan yang telah aku lakukan. Maafkan aku telah melakukan hal yang jahat padamu. Aku bersumpah atas nama para dewata bahwa bukan aku yang melakukan itu, bukan aku yang melakukannya." Tangan lemah Chandra mencoba melepaskan cekikan ayahnya yang semakin lama semakin membuatnya kehabisan nafas.

Si ayah tertawa dengan sangat menyeramkan, aura intimidasi sangat terpancar dari sana. "Anak nakal, aku bahkan tidak memintamu untuk melepaskan cekikan mu saat aku sekarat. Seperti ini lah rasanya! Seperti ini!"

Chandra semakin kehabisan nafasnya, dia pasrah dengan apa yang akan terjadi berikutnya, mungkin memang seperti ini lah dia akan berakhir. Dia pun melepaskan tangan ayahnya dan berhenti berbicara, mencoba tersenyum karena akhirnya, setidaknya, dia tidak lagi harus merasakan rasa bersalah yang meremukkan dadanya lebih jauh lagi. Setidaknya.

*** 

Konspirasi ParvatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang