Air Mata Antagrata

0 0 0
                                    

Chandra berada di sebuah ruangan gelap yang digenangi air yang terasa dingin sekaligus hangat secara bersamaan. Tempat dimana pertama kali dia melihat mata dewata milik Antagrata. "Ah, rasanya seperti bernostalgia ke masa lalu."

Dia pun berjalan maju ke depan, setelah beberapa lama, terlihatlah jeruji besi maha besar yang menjulang dari lantai sampai langit-langit, mengurung sesuatu. "Antagrata, aku datang!" Sebuah senyum sumringah terpampang di wajahnya, menunjukkan rasa bahagia karena akhirnya bisa melihat wujud asli Antagrata.

Beberapa waktu berlalu dan tidak ada jawaban sama sekali. "Antagrata, kau pasti di dalam kan?" Chandra pun mendekat ke arah jeruji, mencoba mengintip ke dalam, namun tidak terlihat apa-apa. Hanya gelap gulita. Chandra pun menggunakan mata dewatanya dan semua berubah menjadi terang benderang.

Di dalam sana, di sudut jeruji, sesosok makhluk yang sangat besar dan menyeramkan sedang meringkuk dengan tatapan mata kosong. Dua buah tanduk serupa tanduk kambing tumbuh di kepalanya, berhiaskan rambut berwarna abu-abu yang sangat tak terurus. Wajahnya hampir tidak berdaging sama sekali, menyisakan tengkorak berwarna putih dengan aksen merah disana-sini. Tulang serupa tulang dada menutupi bagian depan tubuhnya seperti sebuah zirah, yang juga tumbuh menutupi beberapa bagian tubuh seperti tangan, perut, pangkal paha, dan kaki layaknya pakaian. Yang paling mengenaskan adalah, di balik belulang yang menutupi hampir sekujur tubuhnya, terlihat kulit yang penuh dengan luka bakar.

"Astaga Antagrata!" Chandra langsung berlari dan melewati jeruji yang ternyata dapat ia lewati, menghampiri raja iblis dari neraka tersebut, dan mencoba memeluknya, namun tidak berhasil karena tubuhnya yang sangat besar, sekitar delapan sampai sepuluh meter. Dia pun hanya dapat memeluk bagian bawah kakinya. "Maafkan aku tidak pernah memikirkan bagaimana kerasnya kehidupan yang kau jalani selama masa hukuman di neraka."

"Tidak, ini tidak mungkin. Kau pasti bukan dia. Kau pasti bukan dia. Hanya kebetulan yang tidak sengaja terjadi. Iya, kan?" Antagrata terus-terusan bergumam, mengulang kata-kata tersebut.

"Akan ku jelaskan. Kumohon, dengarkan aku. Aku tahu kau tidak suka kebohongan, aku berjanji tidak akan berbohong. Jadi, jika kau mau mendengarkan aku, tolong berhenti bergumam seperti orang putus asa."

Tetap tidak ada jawaban. Gumamannya malah semakin keras, seolah berusaha menutupi apa yang dikatakan Chandra.

Chandra pun memutar otak, mencari cara agar Antagrata mau mendengarnya. Sebuah ide muncul di kepalanya. Dia memusatkan energi di sekitar tubuh, memutarnya berlawanan jarum jam, dan melayang tepat ke depan wajah iblis yang sudah dianggapnya sebagai sahabat karib tersebut. "Antagrata, dengarkan aku. Aku sangat percaya bahwa kau tidak suka dengan kebohongan dan berbohong. Pernahkah terpikirkan olehmu bahwa menyangkal sesuatu sama halnya dengan membohongi diri sendiri?"

Berhasil, Antagrata mulai berhenti bergumam. Namun dia masih menatap kosong ke arah lantai, belum mau mengatakan apa pun.

"Kau mungkin merasa bersalah karena telah melakukan suatu hal yang buruk di masa lalu. Tapi, bukankah memaafkan diri sendiri atas kesalahan tersebut merupakan cara paling ampuh untuk mendapatkan ketenangan? Selama ini kau tersiksa karena semua penyangkalan dan kebencian pada dirimu sendiri. Kau harus berhenti melakukannya. Lihat lah bagaimana kehidupanku sekarang berubah lebih baik setelah memaafkan semuanya. Kuyakin kau memahami yang kumaksud. Jadi, kumohon, dengarkanlah aku, mari bercerita mengenai dosa masa lalu, memaafkannya, dan menertawainya bersama." Chandra menatap lurus ke arah mata Antagrata yang terlihat berbeda dengan saat pertama kali dia melihatnya dulu. Mata tersebut berwarna hitam legam, dengan lingkaran serupa cincin berwarna merah darah di tengahnya.

Perlahan, tubuh Antagrata mengecil, berubah menjadi seukuran manusia dewasa pada umumnya. Setelah itu, dia langsung bergetar hebat dan menangis sejadi-jadinya. "Arun, maafkan aku. Maafkan aku, Arun. Maaf.... Maaf...."

Konspirasi ParvatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang