Terimakasih, Isvara.

0 0 0
                                    

"Apa kau pernah menyesali hal itu?" Chandra memeluk kedua lututnya, mulai menggoyangkan tubuhnya, menikmati angin semilir yang menerpa wajahnya.

'Sebagian diriku terus mengingatkan bahwa aku tidak boleh menyesali pilihanku ini. Namun, jauh di dalam lubuk hatiku, aku tetap menyesal. Jika saja saat itu kami tetap menjadikan obrolan tersebut hanya sebagai obrolan, tidak merealisasikannya, mungkin saja kami masih hidup tenang di istana langit, mungkin Harsa bisa menjadi pejabat tinggi, aku tidak perlu tersegel dalam tubuhmu, dan Visakha masih bisa melanjutkan hobinya beradu argumentasi denganku. Namun, apa mau dikata, semuanya sudah terjadi. Aku harus menerimanya dengan lapang dada, seperti yang diajarkan pertapa waktu itu padamu.'

"Jika demikian, aku penasaran. Apakah kalian tidak memperhitungkan semua kemungkinan yang mungkin saja mengarah pada hal buruk seperti ini terlebih dahulu?"

'Kami sudah memperhitungkannya begitu matang. Namun, ketika Harsa mengalami musibah itu, semuanya berubah. Kami kalang kabut, segera berpikir untuk meminta pengampunan, dan lain sebagainya. Lalu, kami pun dilempar ke neraka.'

"Bagaimana jika seandainya, hanya seandainya, Batara tinggi Vishnu memberikan kesempatan kedua bagi kalian semua, apa yang akan kalian lakukan?"

'A... Aku tidak pernah berpikir sampai sana. Tapi, jika hal tersebut benar-benar terjadi, mungkin dengan senang hati aku akan menerima semua konsekuensi atas perbuatanku.'

"Semoga saja." Chandra tersenyum. Setelah mulai bercakap-cakap dengan Antagrata, rasanya ada sebuah personalia baru yang muncul dalam dirinya, sejujurnya dia pun tak menyangka bahwa dirinya dapat mengeluarkan pertanyaan seperti itu. "Menurutmu, apa kita harus tetap menyebrang dan tinggal di dinding Narendra?"

'Sebenarnya, semua tergantung dirimu. Jika kau tetap ingin menyebrang, maka kita menyebrang. Jika kau merasa kita tidak perlu, maka tidak usah. Namun, jika kau tanya pendapatku, aku menyarankan untuk menyeberang. Karena disana, sepertinya ada sesuatu yang menunggu kita.'

"Ah, biar kutebak. Apa yang menunggu kita disana adalah adikmu?"

'Ah, ternyata aku ketahuan! Ya, kurasa Visakha berada disana sekarang. Apa masalah jika demikian?'

"Tidak. Aku tidak masalah. Jujur, aku mulai menikmati perjalanan ini sekarang, ketika aku tidak memiliki tujuan untuk diriku sendiri. Toh, jika kita brthasil bertemu adikmu dan dia bisa membebaskanmu, aku bisa mati dengan tenang." Sebuah senyum kembali tersungging di wajahnya. 

'Tapi, motivasi seperti itu kurang.... Ah, bagaimana para manusia mengatakannya, kurang keren.'

"Tidak masalah. Menurutku, membantumu bertemu dengan Visakha atau Harsa merupakan sebuah kehormatan. Lagi pula, tidak memiliki tujuan sepertinya terdengar menakutkan."

'Kurasa aku tidak bisa mengubah pikiranmu. Jadi, ya.... Mari kita pergi ke sana. Tapi, kembali lagi ke masalah awal, bagaimana kau akan menyebrangi lautan di depan kita.'

"Apa aku harus belajar terbang seperti kalian para dewata?"

'Sebenarnya tidak masuk akal karena kau manusia biasa, bukan dewata. Tapi, apa salahnya mencoba, kan?'

"Berapa persentase keberhasilanku terbang?"

'Biar ku perhitungkan.' Antagrata terdiam sejenak. 'Mungkin, nol koma lima sampai satu persen. Persentase yang lumayan besar untuk seorang manusia.'

"Terlalu kecil, akan memakan banyak sekali waktu untuk merealisasikannya. Apa ada cara lain?"

'Bagaimana dengan perahu?'

"Apa itu? Apakah benda sejenis sayap? Atau ilmu terbang yang bisa dikuasai manusia?"

'Bukan. Benda tersebut biasanya digunakan manusia untuk menyebrangi lautan, terbuat dari kayu yang dapat mengambang diatas air, lalu mereka akan naik diatasnya.'

Konspirasi ParvatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang