Waktu yang terus berjalan

97 2 3
                                    

Kaluna terbangun dari tidurnya, sepanjang sore hingga malam perut bagian bawahnya benar-benar sakit sehingga entah sejak kapan ia bisa tertidur lelap efek kelelahan menahan sakitnya, ia menuruni ranjangnya dan berjalan kearah luar kamarnya. 

netra indahnya menatap seseorang yang tengah menatap keluar jendela besar yang ada di ruang tengah apartemen mereka, lelaki itu sudah lengkap dengan pakaian santainya dan entah mengapa malam ini Kaluna sangat ingin memeluk lelaki itu.

Kaluna memberanikan diri untuk duduk disamping lelaki itu, membuat Sagara segera tersadar dari lamunannya.

"Sorry.." cicit Kaluna pelan namun tak mendapat balasan dari lelaki itu. 

"Gimana Lun?" Pertanyaan adalah hal yang pertama kali keluar dari mulut lelaki yang menyandang gelar sebagai suaminya itu.

"Maksud?"

"Gimana rasanya setelah ngehancurin hidup gue? Gimana rasanya karena skenario lu udah berjalan lancar? udah puas? atau masih ada lagi skenario lainnya?"

"Sa? gue beneran gak paham maksud lu apa?" 

"Gak usah pura-pura deh kal, gue udah muak dengan semua topeng yang nempel sama lu, lu ngebuat seolah-olah lu orang paling menderita di dunia ini padahal lu sendiri adalah orang paling licik, lu egois lun"

"Gila ya? seburuk itu gue dimata lu Sa?!"

"Bukan seburuk itu dimata gue, tapi kenyataannya lu emang terburuk"

Kaluna terdiam, bayang-bayang akan perkataan sang ayah yang dulu sering ia dengar kembali berteriak-teriak dikepalanya.






4 tahun sebelumnya.

Kaluna baru sampai dirumahnya tepat jam 10 malam , rumah yang selalu kosong dan dingin, dirumah sebesar itu ia hanya tinggal dengan sang kakak dan sang ayah.

Brakk...

"Dasar anak pembawa sial!!" Teriak sang kepala keluarga dengan nafas terengah disertai bau alkohol yang menyebar diseluruh tubuhnya.

Ah iya, Kaluna lupa hari ini adalah hari ulang tahunnya, ulang tahun yang tak pernah ia harapkan, ulang tahun yang rasanya tak ingin ia rayakan disepanjang hidupnya, ia benci hari ini, hari dimana yang ia dapatkan bukanlah ucapan selamat namun makian dan cercaan seolah-olah dirinya adalah makhluk paling berdosa didunia ini.

"SEHARUSNYA KAMU TIDAK DILAHIRKAN" teriak ayahnya lagi.

Bugh.. 

Satu pukulan keras mendarat di pipi Kaluna, setelah pukulan itu rambut panjangnya ditarik paksa, kepalanya dimasukkan kedalam bak mandi penuh air, bahkan sesekali kepalanya juga dibenturkan kedinding kamar mandi hingga mengeluarkan darah segar.

Oh ayolah Kaluna bisa saja berteriak tapi rasanya ia tidak ingin membuat ayahnya semakin membencinya

"Seharusnya saya masih memiliki seorang istri dan saya bisa hidup bahagia dengan anak saya, tapi semua berantakan karena kamu, Bagaimana? Bagaimana rasanya karena kamu sudah menghancurkan hidup saya? Bagaimana rasanya kamu sudah hancurkan keutuhan rumah tangga saya? Bagaimana rasanya kamu sudah bunuh istri saya?Kamu puas??" 



Sebulir bening menetes dipipi Kaluna, buru-buru ia beranjak dari tempatnya tapi sebelum langkahnya semakin membawanya menjauh ia memutuskan untuk memunggungi Sagara.

SAGARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang