Suara gemuruh tepuk tangan dan sorakan terdengar di aula yang sangat besar ini. Mereka menampilkan senyuman seolah puas akan hasil yang telah diumumkan oleh sang juri di depan sana yang juga ikut bertepuk tangan bangga.
“Selamat atas kemenangan Yeva Laquitta Prawija,” ucap seorang pria dengan mic di tangannya sekali lagi untuk memastikan yang dibaca olehnya benar, dan juga memberikan selama pada pemenangnya secara langsung.
Senyuman yang paling menampilkan kepuasan serta kebanggaan yang tak terbendung adalah kedua orang tuanya yang kini berdiri di samping dirinya seraya memegang sertifikat dan medali emas.
"Senyum Yeva, ini hasil dari perjuangan kamu. Harus tunjukin ke orang-orang kalo kamu berhasil," bisik ibunya dengan senyuman yang tidak pernah terlepas dari wajahnya.
Yeva tersenyum ke arah kamera yang menyorot padanya. Ini bukan pertama kalinya dia memegang medali, sudah ke sekian kalinya. Bahkan ini sudah kedua kalinya dalam tiga bulan terakhir. Sebuah kebanggaan yang besar selalu memenangkan berbagai perlombaan yang ada, bahkan selaku berada diperingkat pertama.
Tapi bukan ini lah yang Yeva inginkan.
"Wah anakmu pandai sekali," kata salah seorang pria dengan bermata biru menyalami ibunya yang tersenyum lebar. Tatapan bangga terpancar jelas, mungkin ini hanya beberapa orang yang benar-benar tulus mengucapkan selamat padanya.
Ibunya membalas ucapan pria itu dengan bahasa inggris, karena perlombaan ini berada di negara lain. Mereka sampai di sini untuk mengikuti perlombaan yang besar, sebab itulah senyuman lebar menghiasi wajah kedua orang tuanya. "Tentu saja, terima kasih. Kami mendidiknya dengan baik."
Pria yang sudah cukup dewasa itu kini menoleh pada anak gadis itu. "Kau hebat sekali, Yeva."
"Terima kasih banyak, ini berkat kedua orang tuaku yang membuatku sampai sejauh ini," balasnya, tidak lupa senyuman di wajahnya itu. Ibunya mengatakan untuk selalu tersenyum dan ramah pada mereka, terutama pada mereka yang telah meluangkan sedikit waktunya untuk mengucapkan selamat pada keberhasilan yang sudah mereka dapatkan.
"Kudengar ini bukan pertama kalinya kau memenangkan perlombaan besar seperti ini ya?"
Yeva melirik ibunya yang langsung menjawab, "iya benar, anakku selalu memenangkan semua perlombaan berkelas seperti ini."
Ayah Yeva yang melihat anaknya kurang nyaman dalam situasi ini segera berbisik padanya. "Besok kamu mau jalan-jalan gak? Papa kasih waktu lebih sehari buat kamu nikmati liburan dinegara ini."
"Makasih, Pah. Tapi kayanya Yeva mau pulang cepet aja, Yeva capek," balasnya.
Ayahnya yang mendengar itu mengusap kepala anaknya dan mengangguk. "Yaudah kalo itu mau kamu." Setelah itu dia melihat istrinya yang masih asyik berbicara pada yang lainnya.
"Yeva, sini sayang." Panggil ibunya yang dengan cepat anak gadisnya itu menghampiri sang ibu.
"Lihat anakmu, masih begitu muda dan sudah sangat berbakat ya," puji salah satu wanita paruh baya dengan perhiasan emas menghiasi tubuhnya, kalung besar berkilau yang membuat orang lain terfokus padanya.
"Terima kasih," balas Yeva dengan sopan. Sejujurnya, dia ingin sekali pergi dari tempat kerumunan orang-orang ini, dia ingin kembali ke kamarnya dan beristirahat dengan tenang.
Ibunya lagi-lagi memperkenalkannya pada banyak orang, dia terus memuji betapa hebat dirinya. Yeva hanya bisa berdiri di samping ibunya dengan senyuman yang menghiasi wajahnya cantiknya itu. Dia tidak tau harus apa, mencoba untuk pergi pun itu sangat tidak mungkin. Kalau dia menampilkan wajah yang terlihat bosan, sudah pasti ibunya akan memarahi dirinya karena terlihat tidak sopan dengan yang para orang kaya ini.
"Oh tentu saja, Yeva anakku," katanya lagi sambil merangkul anaknya.
"Cantik sekali," puji salah satu wanita dengan rambut yang ter sanggul rapi dan tangan yang memegang gelas berisikan minuman berwarna.
"Terima kasih." Hanya kata itulah yang dapat Yeva ucapkan. Mungkin kalau dapat dituliskan, perkataan itu sudah menghasilkan beberapa lembar kertas.
"Anakmu cantik dan pintar sekali."
Mereka terus memujinya. Bukannya Yeva tidak menyukainya, hanya saja dia muak. Karena ini sudah sering terjadi, bahkan dia tau yang tulus mengatakan hal ini dapat dihitung dengan jari. Yeva kenal sekali mana wajah yang tulus mengucapkan pujian, dan mana yang hanya pencitraan saja. Apalagi kalau orang tua dari peserta lain yang kalah dengannya. Di depan saja bermulut manis, di belakangnya dia akan terus memaki dan menghina dirinya.
"Tentu, anakku memang sangat pintar dan berbakat. Aku mendidiknya dengan keras," ucap ibunya sambil menenggak minuman yang berada di tangannya itu dan tertawa.
"Kau mendidiknya dengan berhasil, berbeda sekali dengan anakku. Dia sulit sekali untuk diatur, aku sampai menyewa beberapa guru pribadi untuk anakku," sahut wanita lainnya yang memakai gaun berwarna hijau pekat.
Ibunya tertawa bangga akan keberhasilannya ini. "Terkadang kita memang harus mendidik anak kita dengan lebih keras agar disiplin."
"Berikan kami tips untuk mengajarkan anak kami," balas wanita lainnya terlihat lebih tua dari ibunya. Memakai dress hitam dengan tatanan rambut yang rapih.
Kelima wanita itu terus mengobrol dan tertawa bersama. Dan Yeva masih terdiam berdiri di samping ibunya. Dia sudah sangat bosan sekali, dia juga lelah harus terus tersenyum seperti ini sepanjang hari.
Hal yang paling Yeva tidak sukai ketika perlombaan selesai adalah acara pesta kecil seperti ini. Membuatnya tidak nyaman, kenapa tidak langsung kembali saja setelah perlombaan ini selesai. Apa mereka tidak lelah? Oh tentu, sepertinya acara ini memang dibutuhkan untuk ajang memamerkan keberhasilan yang telah mereka dapatkan.
"Mah, Yeva boleh ke sana sebentar?" Yeva berbisik.
Ibunya menoleh dan melihat ke arahnya. "Mau ke mana?"
"Ke sana, ngambil minum." Dia berhenti sejenak menunggu ibunya merespons. "Mungkin di sana Yeva juga akan kenalan sama yang lain, kalo di sini kan Yeva gak ketemu orang baru," sambungnya karena ibunya masih diam saja.
"Iya boleh, tapi inget pesen Mamah!" peringat ibunya.
Yeva menganggukkan kepalanya. "Yeva inget kok." Lalu dia melangkah menjauhi perkumpulan wanita paruh baya itu yang saling membicarakan apa yang telah mereka dapatkan selama ini. Ya tentu saja, saling menyombongkan diri mereka tentunya.
Dia menganggukkan kepalanya karena secara otomatis rekaman ibunya berbicara mengingatkan dia terputar ulang.
Tidak boleh berteman dengan sembarang orang, harus ingat siapa teman dan lawan, harus bisa memilih mana yang menguntungkan dan yang tidak, jauhi yang membawa pengaruh buruk, dekati hal yang menguntungkan. Berteman tidak boleh sembarangan, pilih teman yang bisa membuat dirimu lebih dari saat ini.
Yeva terkekeh mengingatnya. Ucapan ibunya sungguh sangat benar sekali, tapi dia tidak pernah mengucapkan sepatah kata pun tentang mencari teman untuk berbahagia, tidak pernah sekalipun kelar dari mulut manisnya itu untuk mencari kebahagiaan. Hanya terus terulang untuk mencapai hal yang jauh lebih tinggi lagi. Terus dan terus menjadi sempurna.
"Kenapa gak langsung bilang aja cari temen yang kaya raya, dan jauhin yang tidak kaya." Dia kembali terkekeh karena sangat mengerti dan tau apa yang dimaksud ibunya. Padahal ucapannya sudah benar, tapi ya Yeva tau sekali. Ibunya hanya menyetujui dirinya berteman dengan orang kaya yang terkenal dan memiliki nama serta reputasi yang bagus. Yeva tau ibunya takut anaknya ini memiliki pengaruh yang buruk. Tapi menjauhi orang yang tidak kaya, itu tidak baik.
"Papah nih kalo kaya gini sering banget ilang. Gua pusing banget denger mereka ngomong bahasa inggris terus. Mau pulang," keluhnya sambil mengambil salah satu gelas berisi sirup berwarna merah dan menenggaknya.
Dia duduk disalah satu kursi yang kosong dan melihat langit yang gelap, dia menghela nafas berat. "Kapan ini berakhir?" Dirinya sangat lelah.
Tbc
Silahkan kritik dan sarannya, udah lama gk nulis, kayanya ini krng ok.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Tinted Fates
أدب الهواةDalam perjalanan hidup yang tak pernah lurus dan mulus, persahabatan menjadi sumber dukungan, candaan, kenyamanan dan keberanian. Kelima gadis yang dipertemukan oleh takdir dengan memiliki latar belakang serta kehidupan yang jauh berbeda, sebuah ik...