Aku... Ah sudahlah. Hidup ini memang tidak adil. Bahkan adik bayiku tidak pernah merasakan yang namanya ASI.
Orangtua kami bercerai dan ibu kami mengalami depresi. Kami tinggal bersama seorang Nenek di sudut kota Jawa Timur. Nenek tipikal orang yang keras dan temperamen sama seperti Mama. Torehan-torehan luka baik yang nampak maupun tidak tercetak di sana. Bahkan adikku sempat hampir mati karena mereka.
Tidak, aku tidak akan menyalahkan siapapun. Kalau memang seperti ini jalan hidup yang harus kutempuh, izinkan aku untuk menjadi sosok terbaik bagi Esta Carina, adik perempuanku yang kata orang punya keterbelakangan mental.
Semua berawal dari lahirnya bayi mungil yang hanya sebesar botol kecap tepat di hari ulang tahunku yang ke sepuluh. Dia tidak menangis saat mata ini mengintip dari balik celah jendela bagaimana dia diangkat dari antara kedua kaki Mama yang berbaring di sana.
Dia, adik bayi yang kubawa doa selama lima tahun terakhir kini diangkat terbalik dengan kepala menghadap ke bawah oleh wanita yang dipanggil bidan itu. Punggungnya yang kecil ditepuk-tepuk dengan keras, alat yang mirip selang dimasukkan ke mulutnya sebentar lalu dijungkir-balikkan lagi. Mama hanya melihat tanpa protes sedikitpun meski Bidan memperlakukan adik bayiku dengan kasar.
"Mbah, adik kok dipukuli? Kasihan loh Mbah," rengekku saat itu belum mengerti dengan apa yang kulihat.
Nenek menjawab dengan ketus, "Biarin! Dibuang sekalian nanti adikmu ke sungai supaya nggak ngerepoti. Sudah tahu mau pisah kok malah bikin anak."
Bibi yang biasa kupanggil Bulik juga kelihatan gelisah mondar-mandir sibuk dengan telepon genggamnya. Para tetangga juga beberapa sudah pulanh. Nampaknya semua orang tidak peduli dengan Mama dan manusia kecil yang sedang tersiksa di dalam sana.
Aku mengintip lagi ke dalam. Masih sama, tiga orang dengan pakaian mirip astronot itu sibuk mengurus Mama dan adik bayi, kemudian tiraipun ditutup, mereka sadar kalau sedari tadi ada bocah kecil yang sibuk mengawasi dari sedikit celah tirai yang tersingkap. Hampir satu jam aku menunggu, tidak kunjung juga ada yang keluar dari dalam. Kami bertiga hanya bisa duduk dibangku panjang sambil terus berdoa semoga tidak terjadi hal buruk pada Mama dan adik bayi.
Suara tangisan merintih samar mulai terdengar. Bulek langsung berdiri di depan pintu dengan tidak sabaran, tidak lupa tangannya melambai padaku untuk datang mendekat padanya. "Adikmu sudah nangis tuh, kamu dengar kan?" bisiknya. Ya aku dengar, suara yang mirip kucing itu.
Dia benar-benar sangat kecil dan kelihatan rapuh saat kami membawanya pulang. Sangat berbeda dengan adik bayi yang ada disampingnya, yang menangis keras terus-terusan bergerak tanpa henti, meskipun mereka sama kurusnya. Aku merasa kalau salah pegang saja bisa patah tulangnya. Jadi aku seharian duduk di sampingnya hanya memandangi gerakan bibir mungil yang mengerucut mencari sumber air kehidupan, sekaligus aku menepis tangan-tangan yang hendak menyentuh adikku. Hanya Bibi dan Mama yang boleh gendong dia titik!
"Aduh... Kecilnya. Kok kayak monyet yo? Pantesan perutnya kecil." kata seorang tetangga yang datang menjenguk ke rumah.
"Adikku bukan monyet! Adikku prematur, Bu Bidan yang bilang sendiri kalau adik lahir belum waktunya," sergahku spontan.
Lagi, ibu-ibu yang lain berkata, "Hati-hati loh adikmu diambil orang juga loh. Kemarin kan ada yang dibawa orang."
Dengan cepat aku mengelak, "Enggak kok. Ini adik sama aku di sini." Begitu polosnya aku waktu itu menepis semua kenyataan kalau memang kehadiran adikku tidak pernah diinginkan.
Ayah resmi bercerai dengan Mama saat kami menyadari Mama sedang hamil tiga bulan. Pria yang menyebut dirinya kepala keluarga justru tidak pernah sekalipun datang menengok darah dagingnya maupun menanyakan kabar kami bertiga. Barang-barang kami diletakkannya begitu saja ke depan pintu tanpa berkata sepatah katapun. Aku menangis meraung-raung melihatnya naik ke dalam mobil dengan seorang wanita entah siapa dia. Yang jelas pikiran kekanak-kanakanku mengatakan kalau Ayah jangan sampai pergi. Kalau tidak kami tidak akan bertemu lagi selamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tempat untuk Pulang
General FictionKata orang 'Broken Home.' Ketika sebuah kehidupan menjadi berantakan karena egosentris. Sean menggantikan peran seorang Ayah untuk adik perempuannya yang dianggap kurang waras sejak duduk di bangku sekolah. Merawat dan membesarkan adiknya, -Esta Ca...