016

20 5 1
                                    

Hampir mustahil rasanya hidup di era yang semuanya serba uang seperti sekarang. Kalau di Jepang mungkin Sean akan merasa sedikit tenang. Karena di negara matahari terbit itu semua orang punya pensiunan dan punya prinsip yang berbeda dengan negara seribu pulau ini. Orangtua di sana tidak membebankan kewajiban biaya pada sang anak. Semua orang punya asuransi meski harus bekerja sampai tua. Tapi sayangnya Sean dilahirkan di negara tercinta yang dimana, menganggap harta pemberian anak adalah bentuk bakti pada orangtua. Belum lagi anak sulung, terutama laki-laki -harus membiayai semua kebutuhan hidup adik-adiknya meskipun nanti dia sudah menikah dan memiliki keluarga sendiri.

Kali ini hinaan datang lagi dari seseorang yang seharusnya menjadi tempat terbaik untuk mengeluh. "Motor butut aja diributkan. Buat malu aja. Lagipula buat apa kamu kerja kalau dengan saudara sendiri masih perhitungan?"

Sean segera membantah dengan mengatakan, "Saudaraku cuman Esta. Anak Mama yang cantik jelita itu cuman orang asing yang merasa dirinya harus berkuasa. Lagipula Mama gak pernah tahu kehidupan kami di sini seperti apa. Kenapa Mama begitu memuja-muja bukan darah daging Mama, sedangkan yang lahir dari rahim Mama malah selalu dikata-katai terus?"

"Terserah Mama. Kalian bocah kemarin sore emangnya tau apa soal bidup? Kamu keluar dari rumah atas keputusanmu sendiri. Kalau sengsara juga itu urusanmu!"

Setajam-tajamnya lidah seorang musuh, lebih tajam mulut ibunya bagi Sean yang selalu dibuat menahan emosi setiap kali berbicara. Telepon langsung dimatikan secara sepihak. Sean hanya bisa geleng kepala melihat nomornya diblokir oleh ibunya sendiri. Cinta memang membuat orang jadi gila. Tapi Sean sendiri tidak merasakan kedekatan apapun dengan sang Ibu sebab dia sendiri tahu bagaimana ibunya lebih memilih sang Suami dari pada anaknya sendiri. Bahkan tidak ada kontak batin diantara mereka. Hanya saja, Sean masih berusaha menjadi anak yang berbakti.

"Mamamu emang gitu kok. Keras kepala. Lawong dari kamu bayi merah sampai adikmu gede juga aku yang urus. Secangkir susu aja enggak. Gak heran juga kalau kamunya begini," ujar Dwi, -adik kandung Ella, wanita yang selalu Sean panggil dengan sebutan Ibuk kadang juga Bulik.

Sean tersenyum simpul memperhatikan adiknya yang sedang tertidur di samping kakinya.

"Kamu makan dulu, adikmu biar istirahat. Kasihan, bocah kok diajak keloyongan mulu," perintah Dwi beranjak menuju dapur.

Tujuannya datang kemari hanya untuk mengantarkan kamera yang dibeli oleh paman mereka. Esta tidak pernah protes meskipun diajak mengendarai motor selama tiga jam dibawah terik matahari. Tapi adiknya ini langsung tepar begitu menginjakkan kaki ke dalam rumah itu.

"Kamu sendiri jadi anak juga kurang ajar kok. Sebejad-bejadnya ibumu, dia juga orang yang sudah melahirkan kalian. Gak seharusnya kamu bohongi ibumu, ngomong jual tanah padahal kamu hutang di bank. Kualat kan kamu sekarang?"

Dalam segala bungkamnya Sean menunduk menelan rasa sakit hati. Orang tua selalu benar, dia tahu itu. Tapi ada sisi yang membuatnya jadi seperti ini. Dia hanya ingin mengetes ibunya, sejauh mana si Ibu mencintai anak-anaknya atau karena benar hanya menjadikan anak sebagai investasi.

"Terus sekarang kalian tinggal di mana?"

Sean menjawab dengan sedikit candaan, "Pokoknya jauh dari sini. Bulik kalau ke sana pasti ngomel-ngomel di jalan."

"Tapi itu punyamu sendiri kan?"

Mulut Sean bungkam sejenak. Ada keraguan saat ingin menjawab pertanyaan tersebut.

"Udah, kamu jujur aja sama Bulik. Itu rumah punyamu sendiri atau bukan?" desak Dwi.

Sean masih malas menjawab. Selama orang menyebut dirinya saudara maka kelakuan mereka tidak akan jauh soal harta

Tempat untuk PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang