21. Maaf Ma

34 5 2
                                    

       Tidak semua cerita terukir dalam untaian kata-kata. Kadang, diam menyimpan banyak kisah yang tidak semua orang tahu. Kesunyian menjadi teman, namun ramai tidak selalu mengisi ruang kosong dalam diri. Semua seperti paradoks yang membingungkan, karena pada dasarnya hidup juga penuh dengan misteri. Tidak ada yang tahu masalah apa yang akan datang di hari esok, ataupun kapan kebahagiaan itu datang. Semuanya hanya Sang Penulis skenario hidup yang tahu.

Termasuk hari ini, satu lagi fakta yang sempat membuat jantung Bayu hampir berhenti berdetak. 

          Sore itu hujan gerimis menyelimuti ibu kota Jawa Timur. Namun begitu udara di sana tetap tidak sedingin pegunungan. Untuk orang seperti Bayu tentu harus beradaptasi lagi dengan udara tempatnya berada saat ini. Bahkan keringat menetes di dahinya menghiasi wajah pucat pasi yang masih sulit menerima kenyataan yang baru saja dia dengar.

“Kami tidak minta kamu harus mengorbankan bahagiamu hanya untuk satu orang. Di sini Bulek cuman mau jelaskan saja kenapa kamu kami ungsikan ke panti asuhan dan akhirnya berada di keluargamu yang sekarang,” ujar Dwi tersirat jelas kalau dirinya juga merasa bersalah.

“Dulu kami juga tidak menyangka kalau ternyata kamu ini tidak sendirian. Kamu lahir di kamar mandi waktu semua orang tidak ada di rumah. Ibumu ini yang pertama kali dengar suara tangisanmu langsung masuk ke dalam rumah dan menolong kamu. Kalau tidak, mungkin kamu sudah dibenamkan ke bak mandi.”

Mata Bayu bergulir memandang Hanum —ibunya yang sedang memangku Cyl menunggu sebuah jawaban. Anggukan pelan seolah menjadi kepastian kalau apa yang diceritakan itu benar.

“Kalian memang prematur. Tapi Esta waktu itu punya badan jauh lebih kecil dari kamu. Karena itu perut Mbak Ella juga tidak sebesar wanita hamil kembar pada umumnya. Dan kami memilih dia yang harapan hidupnya kecil waktu itu karena kami yakin. Suatu saat nanti masih ada saudaranya yang akan menolong dia.”

Bayu masih tidak menemukan jawaban mengapa dia dibuang ke panti asuhan pun bertanya, “Terus kenapa aku yang kalian campakkan? Maksudnya apa?”

Gejolak emosi menyeruak memenuhi diri Bayu. Tidak bisa dipungkiri kalau dia merasa kecewa dan marah. Tapi disisi lain Bagu lega telah mengetahui siapa keluarga asli yang selama ini telah menjadi tanda tanya besar dalam dirinya.

“Dengerin dulu toh, Le. Bulekmu ini juga butuh waktu untuk menjelaskan supaya kamu gak salah paham,” sahut Hanum berusaha menenangkan putra angkatnya.

Tidak ada yang bisa membuat Bayu sekacau ini sebelumnya. Dia hanya bisa terduduk lemas sembari mendengarkan penjelasan sang Bibi.

“Kami bukan mencampakkan kamu Le. Maafkan Bulek kalau kamu merasa dibuang. Tapi dibalik semua itu justru kami berusaha menyelamatkan kamu.”

“Menyelamatkan?” gumam Bayu.

“Iya, menyelamatkanmu dari orang-orang kejam itu. Kamu sudah lihat sendiri kan gimana dulu adikmu itu disiksa terus setiap hari?”

Memang, saat dia masih tinggal bersebelahan dengan keluarga Ella dulu, Bayu sering mendengar suara jeritan dan tangis Esta. Bocah kecil yang tidak tahu apa-apa sering keluar dari rumah dengan keadaan penuh luka maupun lebam. Pernah sekali Bayu mendengar Esta menangis meraung-raung di depan pintu sembari memeluk bangkai anak kucing yang sudah mati lemas. Ternyata sang Nenek tidak suka ada hewan di rumahnya tapi Esta yang polos malah membawa pulang anak kucing yang masih belum membuka mata karena kasihan melihat dia mengeong sendirian di bawah hujan.

        Terjawab sudah alasan mengapa sering muncul perasaan takut dan lain-lain yang datangnya tanpa sebab. Bayu sadar kalau masih ada ikatan batin diantara dia dan Esta. Selain itu, ada dorongan kuat dalam diri Bayu untuk terus bersama dengan Sean maupun Esta. Ada sensasi nyaman dan aman saat dia di tengah-tengah mereka berdua. Tali persaudaraan lebih kuat untuk dirinya yang hidup dibawah keputus asaan.

Tempat untuk PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang