Dalam keputusasaan dan rasa sakit yang begitu dalam, Esta merasa dirinya siap menerima akhirnya. Saat dia tenggelam dalam air, hampir menyerah pada keadaan, sebuah tangan tiba-tiba terulur padanya.
Tiba-tiba, Esta merasa nafasnya kembali teratur, seolah-olah air yang mengisi paru-parunya lenyap begitu saja, begitu tangan itu menariknya ke atas. Ketika membuka mata, dia mendapati dirinya berada di tepi sebuah danau yang indah, dikelilingi pegunungan yang subur dan sejuk.
Seorang wanita tiba-tiba muncul di hadapannya, dengan aura cerah, tatapan lembut, dan senyuman hangat. "Loh, kok di sini?" tanya wanita itu dengan suara lembut.
Esta bingung. "Kamu siapa?"
Wanita itu tersenyum. "Bukan siapa-siapa. Aku adalah kamu, dan kamu adalah aku. Sederhana, kan?"
"Ha?"
Wanita itu melangkah lebih dekat, dan menghapus setetes air di pipi Esta tapi Esta buru-buru menghindar. Esta merasakan ketenangan dalam kehadiran wanita itu. Wanita tersebut kemudian berkata, "Ingat, kamu gak wajib membuat orang lain bahagia. Kamu boleh sedih, boleh juga senang. Keduanya adalah bagian dari hidup. Yang penting adalah bagaimana kamu mengelolanya. Berterimakasihlah pada dirimu sendiri karena telah bertahan sejauh ini."
Esta yang sama sekali tidak paham dengan maksud wanita itu, mengalihkan pandangannya ke arah danau. Air yang bekecipak terlihat begitu menggoda untuk di selami. Esta kemudian berjalan menuju air, menikmati kesejukan dan ketenangan di sana. Meskipun kerikil tajam di dasar danau terasa sedikit menyakitkan. Namun, saat kabut mulai turun dan segalanya memudar, Esta merasa dirinya terlempar kembali ke dunia nyata. Dia membuka matanya dan mendapati dirinya terbaring di tempat tidur, dengan nafas yang sudah teratur dan tenang.
Namun di luar sana...
"Nanas… Bukain pintunya!" seru Xena menggedor pintu kayu di depannya.
"Ojo goyang ae kok!" bentak Bayu.
Al meringis merasakan bahunya yang nyeri tapi tetap memanggul Bayu, "Berat c*k! Dosamu kurang-kurangi dikit jadi orang," balas Al.
Bayu mengintip lubang ventilasi di depannya, "Est. Buka pintunya! Est!" serunya setengah berteriak.
"Nanas kamu masih hidup kan?"
Al langsung melotot. "Your cocot!"
"Tiga hari loh… Dipanggil pun tidak menjawab," sahut Xena.
Merasa sia-sia, Al pun memaksa Bayu untuk turun.
Esta merangkak dari atas kasur, lemas bercampur pening. Dia tidak sanggup untuk berdiri.
"Minggir kalian!" suara Al terdengar dari luar kamar.
Brak!
Pintu dibuka dengan cepat dalam sekali tendang. Bayu menerobos masuk terlebih dahulu segera menghampiri Esta. "Est, kamu kenapa?" tanya Bayu segera. Gadis itu tidak menjawab, tapi wajahnya tampak memerah dan tubuhnya terasa panas.
"Kamu ngapain sampek kayak gini? Minum dulu minum. Cil ambilin air!"
Xena sigap mengeluarkan ponselnya menghubungi siapapun yang sekiranya bisa menolong mereka sekarang. Sementara Al, dia pergi ke dapur menemukan tidak ada satupun bahan makanan yang tersisa kecuali satu galon air yang isinya tinggal seperempat.
Memang benar darah lebih kental dari air. Tapi kadang yang sedarah pun belum tentu bisa mengerti dengan keadaan yang sedang saudaranya hadapi. Sean membawa semua uang yang ada setelah insiden pertengkarannya dengan sang adik.
Rian berdiri di depan Sean dan mulai mengomel.
"Mbok ya jangan keterlaluan jadi orang. Untung anak-anak ini dateng. Coba kalau gak, mati di dalam adik Sampeyan! Mana Hpnya disita segala. Pantesan kok sepi dipanggil-panggil sama Al gak nyahut."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tempat untuk Pulang
General FictionKata orang 'Broken Home.' Ketika sebuah kehidupan menjadi berantakan karena egosentris. Sean menggantikan peran seorang Ayah untuk adik perempuannya yang dianggap kurang waras sejak duduk di bangku sekolah. Merawat dan membesarkan adiknya, -Esta Ca...