28. Simbiosis Mutualisme!

8 4 0
                                    

"Kalau aku lemah, nanti siapa yang bantuin Abang? Dia sebenernya rapuh, cuman gengsi aja jadi orang."

"Gak akan ada orang yang peduli sama kamu meskipun pura-pura kuat!"

"Setidaknya aku gak ngerepotin."

"Yakin? Hidupmu saja menyusahkan semua orang. Buktinya Abangmu keteteran mengurusmu sampai-sampai dia memilih menitipkanmu pada Om Juna. Mama juga gak mau nganggep kamu anak?"

"Begitu ya?"

"Lemah! Dasar beban yang hidup! Bagus dirimu tidak pernah ada dari awal. Biar Bayu saja yang hidup karena dia lebih baik darimu!"

Bayangan dirinya di dalam kepala seperti sebuah cermin yang membentang lebar menyekat antara dia dan bayangannya di tengah ruangan gelap. Suara di kiri kanan ribut berdebat satu sama lain. Tidak lebih ramai dari isi kepalanya sekarang, tapi Esta tetap membisu dalam diam sembari menatap lemari kayu berisi tumpukan dokumen sembari mengelupasi kuku dan ujung jari tangannya.

Seharusnya Esta senang karena Kakak laki-lakinya datang menuntut keadilan. Tapi nyatanya dia malah merasa tertekan. Orang-orang menyudutkan dia hanya karena dia tidak seperti teman-temannya yang lain. Bu Sinta sempat mengatakan pada sang Kakak kalau selama ini Esta jarang mencatat materi di papan tulis, dagunya juga selalu di meja setiap mengerjakan soal. Semua di jelaskan secara detail di depan semua orang meskipun Esta punya alasan tersendiri kenapa melakukan hal itu. Tapi percuma menjelaskan, dia hanya orang tidak waras dan pemalas!

Andaikan langit mendengarkan suaranya. Mungkin awan pun bosan dengan semua keluh kesah yang tak terucap. Tapi dunia hanya menginginkan senyum dan tawanya saja. Seperti rumput yang merindukan embun, hidup memang tidak selalu huruk juga tidak melulu baik-baik saja. Terik matahari dan dinginnya malam pun datang bergantian. Si rumput berdiri tegak meskipun terinjak-injak mahluk hidup lainnya.

Al diam-diam menggenggam tangannya yang memang sudah terasa perih. Satu menit, dua menit masih tidak masalah. Tapi kalau terlalu lama Esta merasa risih, jadi dia singkirkan tangan Al sesegera mungkin..Disentuh ibunya sendiri jarang apalagi orang lain. Sepertinya tidak terimakasih! Sebab Esta tidak tahu pikiran mereka saat itu.

"Kenapa gak dilawan? Lagipula kalau kaliam diemin juga lama-lama mereka berhenti sendiri. Lagian ya Pak, Mas, mereka ini masih anak-anak. Jadi mohon dimaklumi saja. Toh sampeyan pasti pernah jadi anak SMA."

Sean pun menanggapi perkataan guru tersebut. "Ya pernah Bu. Tapi yang pernah ngeroyok anak orang bahkan sampek nelanjangin terus disebar kayak bandar bokep." Esta langsung menyikut lengan Kakak laki-lakinya.

Rian pun berkomentar, "Saya juga sama kok Bu. Pernah remaja. Tapi gak pernah nuangin sampah ke kepala orang. Apa memang sekolah ini isinya sampah semua?" Terdengar helaan nafas berat dari orang sebelah kanan tidak lain adalah Al yang kemudian menghirup seretide-nya.

Gila memang. Ternyata sama saja, semua orang bisa berlidah tajam jika gejolak emosi sudah mulai mengusai diri. Semoga tidak ada benda yang melayang dari posisinya.

Esta mulai menegakkan posisi duduknya serta mempertajam indera pedengarannya. Siap-siap kalau nanti sesuatu terjadi dia bisa menghidar dengan cepat.


"Saya cuman mau keadilan! Adik saya sampai hampir buta karena ulah mereka. Al juga, mereka berdua ini sering di bully," tuntut Sean.

"Mohon maaf sebelumnya. Bukan tidak mau bertidak. Tapi kami sebagai guru juga serba salah. Kadang ada siswa yang memang sulit diatur tapi kalau kami tegur mereka malah menuntut." Secuil curahan hati seorang tenaga pendidik membuat dahi Sean mengernyit heran. Sekacau itu kah keadilan di jaman sekarang?

Tempat untuk PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang