Terdapat dua tipe orang tua di dunia ini: mereka yang melahirkan anak kedunia ini, dan juga orangtua yang melahirkan dunia untuk anak mereka. Terlalu haramkah seorang anak mengatakan isi hatinya? Atau malah terlalu rendahkah orangtua sehingga anak bagaikan raja/ratu sehingga mereka tega perlakukan Atah-ibunya seperti budak?Semua tergantung dari isi kepala masing-masing. Tidak ada rumah tanpa cela meski hanya setitik.
Ella, -seorang ibu, melihat Esta duduk di atas tempat tidurnya mulai mencecar tanpa basa-basi. "Kamu kenapa?" tanyanya dengan nada dingin.
Esta yang takut sekaligus bingung pun menjawab dengan singkat, "Gak tahu."
Ella langsung mengejek, "Gak usah pura-pura lemah hanya untuk mendapat perhatian! Mama udah muak dengan sikapmu itu."
Kelopak mata Esta turun bersamaan dengan senyuman dipaksakannya berkata, "Kalau gitu, Mama boleh tikam aku. Aku gak akan melawan."
Ella terkejud mendengar perkataan Esta barusan. "Gak sopan ngomong sama orangtua seperti itu!" sergahnya hendak menampar.
Tangannya yang sudah terangkat, menggantung di udara saat melihat tatapan hampa mata putrinya. Seperti tidak ada jiwa di dalamnya.
"Kenapa Mama benci sekali sama aku? Kenapa gak Mama bunuh saja aku sewaktu masih bayi?" tanya Esta lagi tampak sudah benar-benar pasrah dan lelah.
Ella teringat momen saat melahirkan Esta, ketika bayi kecilnya itu terlihat lemah dan membiru dan dinyatakan tidak akan bertahan lama. Tangan Ella kembali turun dengan canggung.
"Ka-kamu kalau gak bisa diatur, Mama gak peduli lagi! Kamu gak pernah mau makan masakan Mama. Sekarang kamu terima sendiri akibatnya," ancam Ella mendorong kepala putrinya dan berlalu pergi.
Esta mengusap wajahnya dengan kasar, mulai turun dari tempat tidur menghampiri tumpukan pakaian kering.
Dia mencoba melupakan insiden tadi, seperti yang selalu dia lakukan. Tidak peduli dengan orang lain yang mengejek atau menghina nya, Esta memilih untuk tetap bersikap cuek. Terlihat lemah di rumah sama artinya menyerahkan diri untuk di ejek dengan kedok candaan dan dia harus siap dengan apa yang terjadi setelah ini.
"Entahlah Bu gak cocok dengan tingkahnya yang gak bisa diam. Sakit kepala sedikit aja langsung kayak kangkung rebus," sindir Ella kala berbincang dengan tetangga yang sempat melihat kejadian pagi tadi.
Esta memutar bola matanya malas. Sungguh kalau dia mau juga tidak ingin sampai drama pingsan begitu jika ujung-ujungnya cuman jadi topik hinaan. Esta merasa kesal. Dia merasa seperti selalu diawasi dan dievaluasi oleh orang lain.
"Dik Esta, sudah makan?" tanya Ajani.
Esta hanya tersenyum tipis tanpa menjawab.
"Mas Sean pamit tadi, katanya ada urusan. Mungkin baru pulang dalam beberapa hari. Gakpapa, kan?" lanjut Ajani.
Esta mengangguk santai, "Sudah biasa. Abang selalu sibuk."
Cuman basa-basi atau memang hanya berniat laporan? Anjani pergi begitu saja setelah sambil mengangkat telepon. Padahal kakak laki-lakinya meninggalkan sebuah Hp disamping kasur. Dia tahu, tidak mungkin kakaknya semudah itu pulang dan pergi tanpa meninggalkan pesan padanya.
"Apalah... Apalah-apalah..." bibir tipis Esta bernyanyi asal sekedar meluapkan kekesalannya tanpa menunjukkan isi hati kepada orang lain.
Seharian dia asik bermain sendiri di teras memandangi langit.
"Ho! Kucing... Pus ke sini pus!" Esta mengejar kucing oranye berbadan gembul ke belakang rumah. Tidak masalah sendirian, Esta sendiri menikmati dunia yang dia buat di dalam kepalanya. Terserah orang bilang apa tentangnya, karena bagi Esta Tuhan itu Maha Tahu sedangkan manusia hanya sok Tahu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tempat untuk Pulang
Fiction généraleKata orang 'Broken Home.' Ketika sebuah kehidupan menjadi berantakan karena egosentris. Sean menggantikan peran seorang Ayah untuk adik perempuannya yang dianggap kurang waras sejak duduk di bangku sekolah. Merawat dan membesarkan adiknya, -Esta Ca...