014. Kehancuran

31 6 3
                                    


      Joeydra Aditya, si jenius yang dipuji-puji karena kecerdasannya. Dia terlahir dari keluarga kulit putih. Dimana keluarga seperti mereka status sosialnya dipandang lebih tinggi dari warga lokal. 

     Kekayaan dan gaya hidup keluarga Jo memang tidak diragukan lagi. Ayahnya seorang manajer rumah sakit, sang Ibu pengusaha garmen yang butiknya sudah ada dimana-mana. Kakak tertua Joey juga seorang dokter di Tiongkok sana. Tersisa hanya dia dan adik perempuannya yang dari pagi hingga petang dijejali dengan berbagai macam rumus dan materi pelajaran. Tidak ada kata penolakan yang berlaku untuk urusan belajar. Kesempatan untuk bermain seperti anak pada umumnya pun tidak ada. 

Sore itu, Joey kecil menjepret hamparan sawah melalui kamera film milik sang Ayah yang dia ambil diam-diam dari laci kamar. Rambut lurusnya tersibak tertiup angin sepoi-sepoi. Jo memejamkan mata, menikmati hembusan angin membelai wajahnya dengan lembut.

Begitu damai dan menyenangkan. Membayangkan dia berlari di tengah rerumputan hijau sambil bermain layangan seperti anak-anak di ujung pematang sawah sana.

Si sopir membuyarkan lamunannya. "Ko, ayo les! Nanti dimarahin Papa loh," bujuknya.

Dengan berat hati Jo yang saat itu berusia empat belas  tahun melangkahkan kakinya pergi meninggalkan pemandangan indah di depan mata. Ini baru permulaan karena dia baru saja pulang sekolah, akan ada pembakaran otak lewat les-les yang akan dia lalui setelah ini sampai jam sepuluh malam nanti.

Satu orang perempuan pengasuh yang akan melayaninya dari bangun tidur hingga menuntaskan semua aktivitasnya seharian dan satu orang sopir siap mengantar kemanapun Jo pergi sama sekali tidak membuatnya bahagia. Tidak peduli seberapa mahal barang-barang yang dia punya dan seberapa enak bekal makanan yang dibawanya sehari-hari. Jo hanya ingin merasakan jadi anak normal lainnya. Berlarian dengan bebas, tidur siang, mandi lumpur atau mungkin bermain hujan. Jo sangat ingin merasakan semua itu.

Sepasang mata sayu yang gemar mengabadikan momen sekitar melalui jepretan kamera kini hanya bisa menatap hampa deretan bangunan tua kota Semarang. Dari sekian banyak tempat dan negara yang pernah dia datangai tidak ada satupun Jo temukan kebahagiaan di sana.

"Ini les yang terakhir ya Ko. Habis ini libur, katanya mau diajak ke Jepang sama Mama. Yang semangat ya Ko," ujar wanita tua pengasuhnya sejak kecil. 

Namun kenyataannya Jo mendapatkan tamparan keras begitu mendapati ada nilai tujuh di salah satu soal ujian yang sudah lama dia sembunyikan.

Sang Papa melemparkan kertas-kertas tersebut ke dada putranya dan berteriak, "Bodoh! Kenapa soal segampang itu malah dapar nilai tujuh?"

"Kurang apa Papa leskan kamu dari siang sampai malam kalau menyelesaikan Aljabar saja tidak becus? Seperti ini calon dokter, iya? Bikin malu saja. Contoh Koko-mu itu. Dia nurut, belajarnya rajin. Sukses dia sekarang di sana."

Si Ibu ada disana. Hanya memandanginya tanpa bisa berbuat apa-apa dan juga Meme -adik permpuan yang iku menunduk ketakutan bersiap menerima evaluasi belajarnya semester ini.

Rasanya seperti hidup di asrama. Ini keluarga tapi tidak ada kehangatan di dalamnya. Jo memanfaatkan kesempatan satu hari sebelum keberangkatan mereka pergi liburan. Menyimpan beberapa helai pakaian dan barang-barang berharga yang bisa dia jual ke dalam tas ransel besar. Jo melompat keluar melalui jendela kamar dan mengendap-endap menghindari kamera pengawas yang tersebar di beberapa titik rumah pada malam hari saat semuanya sudah tertidur lelap.

Dia berjalan melewati semak-semak. Jantung Jo seperti dipacu, berdegup kencang takut kalau ketahuan. Tapi Jo sudah mempersiapkan pelariannya sejak beberapa hari yang lalu. Bahkan tangga bambu sudah dia sandarkan di tembok pagar pagi-pagi buta sebelum berangkat ke sekolah. Jo berlari sekencang-kencangnya ketika berhasil melompat turun dari pagar. 

Tempat untuk PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang