Suara kenalpot motor berhenti di depan rumah. Seorang wanita berambut panjang dengan kulit seputih susu turun dari motor bebeknya sambil membawa sebuah tas jinjing besar yang dia letakkan di bagian depan motor, antara kedua kaki.
"Permisi... Selamat siang wajah bujangan!" seru Vivin begitu ceria siang itu.
Rasanya seperti bernostalgia melihat motornya masih awet terawat meski sudah bersama dengan pemilik barunya. "Gak rewel tuh motor?" tanya Sean berdiri di depan pintu.
"Aman, baru kemarin aku ajak ngempot di perempatan sana. Enteng tarikannya habis kamu servis waktu itu."
Ah, satu lagi saksi bisu perjuangannya yang penuh kenangan harus Sean relakan. Itu hanya benda mati, tapi setiap kali melihatnya Sean selalu teringat bagaimana dia dulu mondar-mandir untuk memperjuangkan masa depan.
"Ngomong-ngomong, ini loh aku ada baju bekas. Masih buagus-bagus. Ada yang baru juga tapi gak sempat pakai. Mungkin adikmu mau makai."
Sean pun melirik tas di tangan Vivin. "Jelas mau. Pokok bukan karung aja. Lawong kolor aja gantian sama kembarannya." Gadis itu dipersilahkan masuk.
Aroma wangi rempah dan masakan menyeruak dari arah dapur. Wanita cantik itu segera meletakkan tas tersebut lalu mengikat rambutnya. Dia hampir setiap hari kemari untuk urusan kerjaan. Jadi, sudah seperti rumah kedua bangunan mungil tempatnya berada saat ini.
"Tak bantuin ta? Tapi nanti bonusin satu porsi yo?"
"Satu porsimu satu ekor utuh. Mending kamu ae yang tak ungkep," balas Sean mulai membongkar isi tas tersebut.
Sebuah daster, tampaknya ini yang Vivin maksud tadi. Masih baru dan terbungkus plastik. Sean pun mulai bertanya-tanya tujuan temannya ini membeli pakaian. Tapi disisi lain Sean merasa cukup senang, karena itu artinya dia tidak perlu merasa sungkan lagi dengan keluarga Hanum saat setiap kali adik perempuannya mengenakan pakaian yang itu-itu saja. Dua tahun, bukan dua bulan dan itu bukan waktu yang sebentar untuk membuat orang mulai berpikir hal negatif tentang keluarganya. Hanya orang yang sudah kenyang pahit manisnya hidup yang mengerti ini semua.
Piyama? Alis Sean langsungsung mengkerut melihat setelan piyama satin berwarna ungu muda tersebut. Dia pun memberanikan diri untuk bertanya pada akhirnya. "Vin, dirimu sebenernya gelap mata atau kebanyakan duit? Atau emang kamu ini emaknya Cinderella?"
Vivin pun tertawa sembari terus mengaduk wajan besar di depannya. "Namanya juga cewek bro. Itu baju jamanku masih kuliah dulu. Masih maruk-maruknya jadi gadis biar tampil modis."
"Sekarang pengen nangis tiap lihat dompet nipis?" timpal Sean dibalas gedikkan oleh Vivin.
Hal yang tak pernah Sean sadari adalah, ada seorang wanita yang selalu memandangnya dengan penuh perasaan kagum. Dia memsng tidak kaya maupun banyak uang, tapi dia seorang pekerja keras. Beratahap merubah hidup bermodalkan potensi yang ada dalam diri.
Sering orang bilang omong kosong di setiap usaha yang dia lakukan akan berhasil. Tapi nyatanya semua tergantung tekat dan kemauan untuk berinovasi. Mungkin, persepsi mereka berbeda dengan sudut pandang Sean, dan dia memaklumi hal tersebut. Karena memang hidup tidak harus melulu mendengarkan omongan orang lain.
Namun seorang Sean sudah terlanjur patah hati oleh kehidupan dan orang-orang yang telah mematahkan kebahagiaannya di masa lalu. Dia mencintai seorang wanita, entah siapa itu tapi Sean enggan untuk harus teikat oleh sebuah hubungan.
Sebuah statmen muncul begitu saja dari mulut Vivin yang sukses membuat Sean berpikir keras.
"Sean. Kenapa kamu gak mau menikah?" tanya Vivin berjalan ke arahnya dan mulai duduk di dekatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tempat untuk Pulang
Ficción GeneralKata orang 'Broken Home.' Ketika sebuah kehidupan menjadi berantakan karena egosentris. Sean menggantikan peran seorang Ayah untuk adik perempuannya yang dianggap kurang waras sejak duduk di bangku sekolah. Merawat dan membesarkan adiknya, -Esta Ca...